Dalam rangka merespon perubahan pola kerja yang dipengaruhi beberapa faktor, pada 26 September lalu Program Pascasarjana Sosiologi kembali mengadakan Public Lecture dengan mengusung tema “The Current Trends in The Sociology of Work”. Kesempatan kali ini menghadirkan Debra King dari Associate Professor of Sociology College of Humanities, Art and Social Sciences at Flinders University.
Di awal pemaparannya Debra menjelaskan konsep sociology of work secara umum jika dibandingkan dengan studi lainnya. Dalam tradisi sosiologi sendiri lebih menekankan pada dua konsep yaitu social experience dan social structure. Pengalaman sosial (social experience) mengarah pada pemahaman atas interaksi antara pemberi pekerjaan (employer) dan penerima pekerjaan (employee), perbedaan antara kelompok dan masyarakat, konteks sejarah, dan pilihan individu (antara paksaan dan peluang). Sedangkan, struktur sosial (social structure) mengarah pada pemahaman atas faktor-fakor yang mempengaruhi kesetaraan dan ketidaksetaraan, seperti status ekonomi, gender, atau disabilitas. “Hal inilah yang membedakan sosiologi dengan studi lainnya. Di ekonomi misalnya yang lebih fokus pada transaksinya” tambahnya.
Terdapat tiga pendekatan klasik yang bisa digunakan untuk melihat perkembangan kerja dalam relasi masyarakat. Pertama, perspektif fungsional yang lebih menekankan pada manfaat kapitalisme bagi masyarakat dimana pekerjaan memberi penghasilan sehingga dapat membangun struktur kehidupan manusia. Kedua, perspektif konflik yang mengarah pada bentuk eksploitasi dari kapitalisme, seperti upah yang dibayar rendah maupun alienasi pekerja. Ketiga, perspektif simbolik interaksionis yang mengacu pada bagaimana seseorang mendefinisikan dan mengalami proses kerja di dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain itu, Debra juga menambahkan tiga pendekatan kontemporer dalam mengintepretasikan pengalaman sosial dalam dunia kerja. Pendekatan pertama mengarah pada lingkup analisis feminis. “Pendekatan ini meliputi relasi gender, dimana peran gender mendasari pekerjaan perempuan dan laki-laki secara berbeda, seperti bagaimana relasi pekerja perempuan dengan keluarganya,” jelasnya. Pendekatan kedua dari sisi post-struktural yaitu pemahaman biner atas kerja didekonstruksi untuk mengungkap sistem pengetahuan yang memproduksinya. Terakhir, pendekatan post-modern yang mengarah pada bagaimana wacana tata kelola teknologi dan biopolitik membingkai pekerja dan tempat kerja dengan cara mendukung atau menolak hubungan kekuasaan. Pendekatan-pendekatan tersebutlah yang bisa digunakan dalam melihat pola-pola dalam dunia kerja.
Pola-pola tersebut bisa dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi. Debra mendeteksi beberapa poin dalam merespon masa depan dunia kerja. Salah satunya adalah kemunculan self-employment atau biasa disebut sebagai entrepreneurs. Hal ini tentu sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan informasi yang merubah paradigma kerja. Oleh karena itu, dalam masa depan kerja, proses inovatif dan kreativitas adalah hal yang paling menonjol. Selain itu, perkembangan teknologi juga berdampak pada kemunculan pekerja robot dan mesin otomatis. Perkembangan tersebut bisa dilihat dari negara-negara industri maju dimana pekerja robot dan mesin otomatis telah berlahan menggantikan pekerja manusia. Hal yang juga tidak kalah penting adalah perkembangan skill clusters. Perusahaan kini lebih menekankan pada peran-peran pekerja sesuai bidang, mereka bekerja hanya saat dibutuhkan jasanya.
Sebagai penutup, Debra memberikan tantangan untuk melihat pola perkembangan tersebut dalam konteks Indonesia. Bagaimana konteks yang membentuk pengalaman sosial kerja di Indonesia dan struktur sosial mana yang membentuk pola-pola ketimpangan.“Jika di Australia struktur sosial dipengaruhi oleh saham, pendapatan, dan investasi, lalu bagaimana dengan konteks di Indonesia. Tentu ada beberapa hal yang berbeda,” paparnya. Debra juga menekankan bahwa sosiologi kerja sangat penting untuk dipahami karena bisa mempertimbangakan kebijakan dan regulasi yang diterapkan dalam masyarakat. (/ran)