Departemen Sosiologi (3/10) mengadakan diskusi buku “Kacang Tidak Lupa Kulitnya: Identitas Gumay, Islam, dan Merantau di Sumatera Selatan. Diskusi yang dimoderatori oleh Mustagfiroh Rahayu ini berhasil menghadirkan langsung Minako Sakai selaku penulis buku tersebut. Selain itu, Hakimul Ikwan selaku dosen Sosiologi dan Pande Made Kutanegara dari Departemen Antropologi UGM juga turut hadir sebagai pemantik diskusi.
Buku Kacang Tidak Lupa Kulitnya: Identitas Gumay, Islam dan Merantau di Sumatra ini merupakan hasil penelitian etnografi Minako selama 20 tahun. Buku tersebut menceritakan tentang bagaimana orang Gumay mendefinisikan identitasnya dalam konteks perubahan sosial politik. Selain itu, buku ini juga mengulas tentang proses kontestasi dan negosiasi di tengah arus modernitas yang berkembang di masyarakatnya. “Mula-mula saat saya pergi 1994-1996 itu penelitian pertama. Setelah itu saya melakukan beberapa update. Jadi ini yang saya tulis ada beberapa epilog yang saya tambah untuk membahas apa yang menjadi tema sosial sekarang, apa makna sebenarnya dari penelitian ini untuk penelitian sosial di Indoneisa,” ungkap Minako.
Gumay sendiri adalah salah satu dari sejumlah kelompok etnik berbahasa melayu yang tinggal di dataran tinggi Sumatera Selatan. Keunikan dari kelompok ini adalah pentingnya identitas asal usul bagi mereka. Konsep asal usul inilah yang memperkuat keberlangsungan ritual-ritual yang ada di kelompok Gumay. Salah satu contoh ritual yang sampai sekarang masih berlangsung adalah ritual Sedekah Malam Empatbelas. Ritual ini ditandai dengan berkumpulnya ratusan orang di rumah pemangku adat dengan tujuan untuk mengingat dan mencari berkah dari leluhur Gumay. “Yang penting bagi masyarakat Gumay adalah ingat asal usul, ingat itu juga bukan hanya menghayati di dalam hati tapi harus pulang, betul-betul naik pesawat pulang ke asal usulnya. Lalu disitu mereka juga berziarah ke tempat-tempat nenek moyang atau paling tidak mereka melakukan sedekah,” paparnya.
Dalam penelitiannya, Minako menangkap adanya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kelompok Gumay. Perubahan tersebut merupakan bagian dari dampak kebijakan pemerintah nasional dengan berbagai proyek pembangunannya, proses urbanisasi, dan dominasi Islam dalam berbagai gaya hidup masyarakat. Hal inilah yang memunculkan bentuk-bentuk kontestasi dan negosiasi dalam masyarakat. Di mana masyarakat ingin tetap mempertahankan identitasnya sebagai Gumay, tetapi sisi lain juga ingin menjadi bagian dari masyarakat modern. Salah satunya tercermin dari bagaimana orang Gumay melaksanakan ritual-ritualnya yang bisa dikatakan bukan bagian dari Islam.
Hal ini dipertegas oleh Hakim dalam paparannya mengungkapkan bahwa relasi Gumay dan Islam adalah relasi yang sangat dilematis. Satu sisi ingin menjadi Gumay dan tetap dengan kegumayannya tapi di sisi lain mereka ingin menjadi good Moslem. “Satu sisi kalau anda Gumay lalu percaya pada leluhur itu artinya anda menjadi less muslim dan juga less Pancasilais karena pancasila itu ya agama yang resmi dan kita dituntut untuk menjadi kafah (sepenuhnya),” tambahnya.
Pande justru melihat sisi lain dari identitas asal usul, jika dilihat dalam konteks sekarang, sistem kinship atau kekerabatan sangat dimanfaatkan oleh masyarakat modern. Hal ini didukung oleh penerapan sistem desentralisasi oleh pemerintah. Pande menyimpulkan dua hal yang penting dalam sistem kekerabatan. Pertama, munculnya konsep putra daerah di mana ini sangat krusial dalam proses desentralisasi. “Dalam desentralisasi putra daerah itu penting. Ketika berbicara tantang putra daera ada klaim ini wilayah putra daerah ini wilayah Gumay ini wilayah Basman,” jelas Pande. Kedua, munculnya asosiasi masyarakat adat. “Asosiasi masyarakat adat mulai berkembang itu juga akan memperkuat. Kemudian dimanfaatkan untuk mendapatkan suara pemilihan legislatif, maupun pemilihan kepala daerah,” paparnya. (/ran)