Pada usia 42 tahun, ia memutuskan untuk banting stir dari dunia jurnalistik dan memilih menjadi seorang pebisnis. Padahal, kariernya sebagai wartawan selama 23 tahun telah menghasilkan track record yang membanggakan. Ia pernah mendapatkan penghargaan sebagai presenter terfavorit nomer 1 di Indonesia, menjadi pemimpin redaksi termuda, mewawancarai orang penting dari berbagai negara, dan banyak prestasi lainnya. Namun, karena ia memiliki visi untuk menjadikan generasi muda Indonesia sebagai pekerja yang kompeten, ia memutuskan untuk mendirikan usaha bernama IDTalent.
Putra Nababan, mantan presenter berita sekaligus Founder and Chief Operating Officer IDTalent berkesempatan hadir untuk menjadi pembicara dalam acara Digitalks#12. Acara yang diselenggarakan oleh Center for Digital Society (CfDS) Fisipol ini, bertempat di Ruang Auditorium Lantai 4 Fisipol, Kamis (19/10). Dalam kesempatan tersebut, Putra memberikan materi mengenai talent sebagai kebutuhan industri di Indonesia. Menurutnya, banyak karyawan yang kurang kompeten untuk bekerja di dunia industri sehingga membuat rugi perusahaan. Oleh karena itu, Putra menekankan pentingnya menjadi talent bagi anak muda Indonesia.
Talent merupakan orang yang bertanggung jawab, profesional, dan bekerja sesuai dengan passion dan kemampuan. Dengan menjadi talent, seseorang akan mendapat banyak manfaat seperti memajukan perusahaan, menjadi kebanggaan keluarga, dan turut memajukan provinsi/negara. Anak muda perlu menjadi talent karena banyak fenomena yang akan terjadi di masa yang akan datang, yang menuntut persaingan. Pada tahun 2025, Indonesia akan mengalami bonus demografi yang membuat kompetisi di dunia kerja semakin ketat dan sedikit peluang kerja. Selain bonus demografi, 2-3 tahun ke depan, Indonesia akan mengalami talent crisis sebanyak 56%, yang membuat degradasi kemampuan kerja talent. Jurang lebar antara industri media dan talent juga akan terjadi di masa mendatang karena ekspektasi yang tidak sesuai dengan realitas, sehigga banyak terjadi kasus kucing dalam karung yang dialami perusahaan.
Untuk menghadapi masalah tersebut, passion dan kemampuan sangat dibutuhkan oleh seorang talent. Menurut Putra, dengan passion dan kemampuan seseorang dapat mengalahkan pesaing lain yang hanya bermodal fisik semata. Selain itu, Putra juga menjelaskan 3 soft skill yang harus dimiliki seorang talent untuk tetap eksis di dunia kerja. Pertama, agile thinking skill sebagai kemampuan untuk mengukur dan menyiapkan berbagai skenario, inovasi, serta kemampuan mengatasi kompleksitas dan ambiguitas. Kedua, interpersonal and communication skill yang di dalamnya mencakup kemampuan co-creativity/kolaborasi, brainstorming, membangun relasi, dan timing. Ketiga, global operating skill sebagai kemampuan untuk menyikapi keberagaman pekerja, dan memahami pasar internasional.
Salah satu yang penting dilakukan untuk menumbuhkan soft skill tersebut adalah dengan kesadaran akan diri sendiri, atau self awarness. Cara yang dilakukan yaitu dengan mengetahui kemampuan potensial yang dimiliki, mengembangkan diri, dan merencanakan masa depan. Namun, yang seringkali menjadi masalah anak muda adalah pengingkaran terhadap passion dengan kemalasan yang ditutupi dengan keseganan, malu, dan berbagai alasan lain. Oleh karena itu, Putra menyarankan agar anak muda nantinya menjadi pekerja yang persistent. Saran tersebut sesuai dengan pengalaman pribadinya yang membuktikan bahwa bahwa persistent-lah yang membuat ia menjadi seperti sekarang ini.
Terkait dengan dunia kerja, Putra menyarankan agar mahasiswa tidak banyak mencoba berbagai pekerjaan, karena waktu yang terbatas. “Boleh coba-coba, tapi coba-cobanya di kampus aja. Di kampus boleh, di luar kampus nggak ada waktu. Jadi kalo keluar kampus jangan coba-coba, langsung nyemplung aja.” tuturnya. Di penghujung materi, ia menjelaskan mengenai talent empowerment. Menurutnya, passion dapat menjadi pembangkit saat mengalami kegagalan dalam berkarir. Ia memberikan motivasi kepada mahasiswa bahwa wajar bila setiap orang pernah jatuh. Namun, ia berpesan agar jangan sampai terlarut dalam kegagalan, karena cerita hidup bukan tentang jatuh tetapi tentang seberapa cepat dan tinggi titik balik dari jatuh tersebut. Ia mengibaratkan bahwa cerita hidup harus seperti bola yang akan memantul kembali ketika dijatuhkan. (ASA)