Dikotomi antara pribumi dan non-pribumi semakin marak dicanangkan oleh berbagai pihak. Keadaan tersebut juga diperparah dengan unsur politik di dalamnya. Dikotomi pribumi dan non-pribumi tentu akan menimbulkan banyak persoalan, salah satunya adalah diskriminasi atas etnis-etnis tertentu. Padahal jika ditelaah lebih jeli dan jernih dalam memandang sejarah, kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil dari perjuangan masyarakatnya, tetapi juga hasil dari solidaritas dari berbagai pihak. Dimana kerjasama tersebut melintasi batas-batas bangsa, etnis, kelas bahkan ideologi.
Melalui realitas tersebut, Magister Administrasi Publik (MAP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM)kembali menggelar diskusi sekaligus pemutaran film yang bertajuk “Pribumi dan Nasionalisme yang Rasis” pada 31 Oktober lalu. Pada kesempatan ini menghadirkan Budiawan selaku dosen Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM sebagai pemantik diskusi.
Diskusi diawali dengan pemutaran film pendek dari Joris Ivens yang berjudul Indonesia Calling. Film ini menceritakan perjuangan orang Indonesia yang ada di Australia dalam mencegah kapal Belanda yang membawa pasukan militer dan senjata ke Indonesia. Dibantu oleh serikat buruh Australia, Tiongkok, dan India, orang Indonesia melakukan pemogokan untuk membatalkan rencana penyerangan Belanda terhadap Indonesia dengan ribuan pasukan tentara dan senjata yang mereka bawa. Dimana rencana tersebut dilakukan secara diam-diam oleh Belanda.
Peristiwa tersebut memang tidak banyak diungkapkan dalam berbagai buku maupun kelas sejarah. Namun, Budi menekankan bahwa peristiwa tersebut merupakan salah satu sejarah penting dari perjalanan memerdekakan Indonesia. “Impilikasi dari peristiwa itu terhadap kemerdekaan Indonesia mestinya tentara itu berterimakasih dengan peristiwa pemogokan itu. Mestinya peringatan hari TNI 5 Oktober pemogokan itu disebut-sebut karena kalau tidak ada pemogokan, kapal itu sudah tiba disini sebelum Republik Indonesia punya tentara,” paparnya.
Ketidakhadiran peristiwa pemogokan tersebut dalam berbagai teks sejarah dipengaruhi oleh beberapa hal. Menurut Budi, ada tiga alasan dasar yang melatarbelakangi keadaan ini. Pertama, aktor dari peristiwa pemogokan tersebut adalah kelompok buruh. Dimana kelompok ini tidak mendapat tempat dalam historiografi Indonesia yang bersifat elitis priyayi. Kedua, inisiatif dari orang Indonesia melakukan koordinasi dengan serikat buruh Australia adalah bentuk solidaritas kelas buruh lintas bangsa dan lintas ras. Hal ini merupakan sesuatu yang faktual secara histori dalam kaitannya dengan sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Ketiga, sejarah Indonesia ditahun 50-an justru ditulis oleh ahli hukum, bukan dari sejarawan.
“Historiografi yang disusun oleh ahli hukum ini lebih banyak dilandasi oleh semangat nasionalisme yang menggebu-gebu, semangat untuk membuktikan bahwa Indonesia itu sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, sampai-sampai dengan metode otak-atik gatuk Muhammad Yamin menerbitkan 6000 Tahun Merah Putih,” jelas Budi.
Nasionalisme inilah yang menurut Budi meniadakan kepingan-kepingan sejarah lain. Dimana kemerdekaan Indonesia dikonstruksikan sebagai sebuah perjuangan masyarakatnya sendiri tanpa bantuan bangsa lain. Pada tahap selanjutnya, semangat tersebut melahirkan sinisme terhadap hal-hal yang ada di luar Indonesia. Salah satunya fenomena dikotomi pribumi dan non-pribumi yang berkembang di masyarakat hingga saat ini. Padahal menurut Budi, kata Indonesia saja diadopsi dari orang berkebangsaan Skotlandia. Jadi hampir semua unsur kemerdekaan Indonesia terbangun atas dasar campur tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, Budi menekankan bahwa klaim tentang yang paling berjasa dan satu-satunya berjasa dalam kemerdekaan Indonesia sudah selayaknya ditinggalkan. Tidak hanya menimbulkan diskriminasi, tetapi juga menjadi cikal bakal fasisme yang akan melanda negeri ini. (/ran)