Divisi Advokasi Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol kembali mengadakan diskusi yang bertajuk “Menjadi Mahasiswa Zaman Now”, Selasa (7/11) di Selasar Barat Fisipol. Diskusi dimulai pada pukul 11.00 WIB dengan menghadirkan Badrul Arifin, Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik 2013 yang menjabat Pimpinan Advokasi dan Propaganda Dema Fisipol, serta Arman Dhani sebagai kontributor tetap media daring tirto.id. Acara dipandu oleh Dimas Hatta dari Departemen Politik dan Pemerintahan 2016 sebagai moderator. Diskusi ini merupakan bagian dari acara Pameran Beasiswa dan Komunitas yang digelar di Fisipol sejak Senin (6/11).
Diskusi dimulai dengan pertanyaan tentang cara negara memandang pemuda atau mahasiswa yang diwujudkan dengan berbagai kebijakan, misalnya skripsi satu semester. Badrul berpendapat bahwa pemuda sering hanya menjadi objek kebijakan tanpa dilibatkan secara aktif dalam pembuatan kebijakan. “Misalnya di tahun 2015, saya dan teman-teman sering melakukan audiensi dengan pihak rektorat. Salah satu wakil rektor sering menggunakan narasi-narasi seperti ‘saya ini orang tua, kamu anak kecil’, sehingga memiliki pendapat yang bertentangan bisa membuat kami dianggap durhaka. Padahal, ini urusan antara birokrat dengan citizens yang diaturnya,” ungkap Badrul mengingat pengalamannya. Laki-laki kelahiran Sumenep ini menghubungkan narasi serupa dengan konsep ageisme, yaitu diskriminasi berdasarkan usia. “Ageisme bisa lebih berbahaya daripada bentuk diskriminasi lainnya karena sifatnya lebih universal, multi-gender dan multirasial.”
Terkait dengan peran pemuda dan mahasiswa, Badrul mengatakan bahwa negara menginginkan adanya peran khusus yang dijalankannya. Menurut UU Tahun 12 tahun 2012, pemuda diharapkan mampu menjadi pribadi yang beriman, kreatif, kooperatif, dan bisa meningkatkan kualitas bangsa. “Tidak ada narasi dari pemerintah yang menginginkan pemuda menjadi kritis. Kritisnya mahasiswa hanya diatur di pasal 77B, yaitu melalui organisasi kemahasiswaan.” Menurutnya, visi pemerintah tersebut kontradiktif dengan kebijakan lulus skripsi satu semester. “Padahal kan orientasi mahasiswa beda-beda. Harusnya tidak ada paksaan,” ungkapnya. Sebagai solusi dari keadaan tersebut, Badrul mengajak mahasiswa untuk tidak pasif dan terus menegosiasikan kepentingannya.
Terkait keanekaragaman mahasiswa, Arman Dhani mengatakan bahwa mahasiswa dari tiap generasi punya tugas dan dinamika yang berbeda. Berdasarkan riset yang dilakukannya bersama tim tirto.id, generasi milennial yang lahir sebelum 1995 memiliki orientasi kepada perubahan di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial dan aksi-aksi kemanusiaan. Di sisi lain, generasi Z yang lahir setelah 1995 berpendapat bahwa aktualisasi diri adalah yang paling penting. Kecenderungannya adalah menciptakan start-up dengan berbasis komunikasi daring untuk memberikan dampak ke masyarakat. “Media sosial sangat berpengaruh buat generasi Z karena disitulah mereka dapat menemukan pengakuan dari masyarakat luas, mulai dari selfie sampai ke produk-produk start-up mereka,” kata Dhani.
Dengan keadaan ini, Dhani berpendapat mahasiswa tidak perlu muluk-muluk mengusahakan perubahan sosial yang besar. Tiap orang bisa memilih caranya masing-masing, mulai dari aksi turun ke jalan, hingga menuliskan opininya, dengan syarat kepemilikan akan pemahaman yang baik atas permasalahan yang dihadapi. “Kalau kamu suka nulis, atau punya pengetahuan yang baik di bidang perikanan atau peternakan, jangan membebani diri pada tugas-tugas berat yang malah menghambat kontribusi mahasiswa.”
Menurut Dhani, mahasiswa yang tidak mau turun ke jalan itu bukannya apatis. “Tetapi mereka juga dikonstruksi oleh lingkungan sekitar mereka, misal keluarga. Banyak dari mereka yang berpikir mau membantu orang tua dengan cepat lulus. Toh banyak juga yang ingin cepat lulus untuk masuk ke struktur dan melakukan perubahan dari dalam, misalnya QLUE yang dilakukan pemerintah Jakarta,” ucap Dhani. Ia menekankan pentingnya berdiskusi dengan kepala dingin untuk mempersuasi teman-teman untuk ikut turun ke jalan buat para aktivis. Sebaliknya perlu juga mendengarkan pendapat mahasiswa yang lebih suka berkontribusi dalam hal lain.
Dalam sesi tanya jawab, terungkap bahwa generasi Z cenderung mereplikasi identitas-identitas generasi pendahulu. Dhani mencontohkan protes Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) beberapa saat silam di Jakarta. “Tuntutan-tuntutan yang mereka berikan kurang spesifik, misal hanya mengenai kemiskinan. Kan di zaman sebelumnya masalah serupa juga ada. Seharusnya mahasiswa lebih bisa berfokus pada isu secara spesifik, misal kekerasan seksual dan kebebasan berpendapat.” Ruang publik online memberikan peluang bagi mahasiswa untuk membentuk perubahan-perubahan yang diinginkan, karena disanalah diskusi kini berlangsung secara demokratis.
Sebagai penutup, Badrul kembali berpesan agar mahasiswa aktif dan kritis sehingga kebijakan yang merugikannya tidak muncul dengan mudah. Sedangkan, Dhani berpesan agar mahasiswa tidak merasa lebih baik daripada orang lain, dan untuk terus melakukan diskusi. (/KOP)