Dari 10.268 orang yang menyandang disabilitas di Kabupaten Sleman, perempuan selalu berada pada kondisi yang lebih buruk baik dari segi pendidikan, pekerjaan, serta akses publik. Hal ini disampaikan oleh Nuning dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) di acara “Academic Roundtable Discussion: Ekspose Profil dan Pemetaan Kebutuhan Perempuan Disabilitas Kabupaten Sleman Tahun 2017”.
Bekerja sama dengan Resarch Centre for Politics and Government (PolGov) dan Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), acara ini membahas isi draf profil perempuan penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman yang dibuat oleh HWDI. “Isi dari profil ini sangat dibutuhkan karena keterbatasan data perempuan penyandang disabilitas. Harapannya, kesadaran masyarakat dan pemerintah semakin meningkat sehingga perempuan penyandang disabilitas bisa menjadi subyek pembangunan, bukan hanya obyek,” ujar Nuning. Ia percaya bahwa pembuatan profil ini akan meningkatkan aksesibilitas fisik bagi penyandang disabilitas di masa depan, disertai penguatan prinsip-prinsip inklusi dari masyarakat sehingga partisipasi penyandang disabilitas dapat meningkat. Kesetaraan gender juga menjadi tujuan dari proyek ini.
Nuning menyampaikan bahwa diskriminasi yang diderita para wanita penyandang disabilitas disebabkan oleh ketiadaan definisi yang sama di masyarakat. “Hal itu menyebabkan putusnya hubungan antara masyarakat dengan individual penyandang disabilitas. UU yang ada selama ini pun semangatnya sekedar charity, seolah kalau sudah dibantu, masalah sudah selesai. Ini malah menyebabkan penyandang disabilitas masuk ke kategori eksklusif, tidak berinteraksi dengan masyarakat. Malahan beberapa penyandang disabilitas disimpan oleh keluarganya di rumah saja,” ungkapnya. Menurut temuan riset HWDI, ini membuat penyandang disabilitas tidak kreatif maupun produktif secara ekonomi. Perlu diketahui, disabilitas dapat ditemui dalam aspek fisik, mental, intelektual, dan sensorik.
Perempuan penyandang disabilitas di Sleman semakin tidak berdaya, dibuktikan dengan tingginya kekerasan yang menimpanya. Bentuk kekerasan yang paling banyak diterima adalah pemerkosaan, disusul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di urutan kedua. Nuning menyebutkan bahwa beberapa bulan lalu terdapat tujuh kasus kematian ibu dan bayi yang disebabkan oleh tuntutan menikah dan memiliki keturunan tanpa memerhatikan kebutuhan khususnya.
Disparitas antara laki-laki dan perempuan penyandang disabilitas juga jelas terlihat dalam aspek-aspek kehidupan publik lainnya. Di bidan pendidikan, mayoritas perempuan penyandang disabilitas hanya menyelesaikan sekolah dasar. Dalam advokasi hukum, kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas belum maksimal karena terisolasinya mereka dari interaksi masyarakat. Di ranah olah raga pun lebih banyak atlet laki-laki daripada perempuan, begitu pula di kantor-kantor pemerintahan. “Oleh karena itu, ratifikasi Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD) oleh pemerintah dengan UU No. 8 Tahun 2016 memberikan harapan terciptanya lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Dosen DPP, Longgina Novadona Bayo menanggapi penyusunan draf ini dengan optimisme. “Saya sangat mengapresiasi pembentukan profil perempuan penyandang disabilitas di Sleman ini. Dengan adanya profil ini, kita bisa melihat disparitas perempuan dan laki-laki secara lebih jelas, terutama di pendidikan,” kata Nova.
Nova mengatakan bahwa data-data yang disediakan sudah sangat jelas, tetapi perlu diperjelas dengan pendekatan yang berbasis pada hak asasi manusia (HAM). “Dengan landasan yang jelas, profil akan lebih mudah mengarahkan pembahasan pada pemenuhan hak dan kewajiban perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, banyak dari mereka yang tidak memiliki KTP sehingga tidak bisa bekerja, tidak bisa menerima haknya juga seperti pendidikan.” Ia mengatakan bahwa pembahasan akan menjadi sistematis. Nova menambahkan, diperlukan pemetaan hambatan dengan klusterisasi masalah terutama masalah kultural. Dari aspek attitude, masyarakat masih memandang penyandang disabilitas perlu dikasihani atau bahkan sebagai aib. Selain itu, diperlukan dukungan masyarakat untuk membantu para penyandang disabilitas secara psikologis.
Ulya Niami Efrina Jamson (Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan), menambahkan rekomendasi kerangka analisis socio-ecological model. Ia berpendapat bahwa kerangka ini dapat membantu memaparkan masalah secara holistik di level individual, interpersonal, organisasional, komunitas, hingga kebijakan publik. “Pemaparan masalah yang demikian akan membantu para pengguna profil untuk dapat menciptakan perubahan, baik dari atas maupun dari bawah,” ujar Niami. Oleh karena itu, mulai dari lembaga masyarakat sampai pemerintah dapat menginisiasi kebijakan dan aksi sesuai kemampuan dan perannya. Kerangka analisis ini juga memperbolehkan profil ini memberikan rekomendasi di setiap tingkatan.
Niami mengingatkan juga bahwa perlu tindak lanjut dalam bentuk diskusi intensif bersama PolGov, terutama mengenai publikasi profil ini agar dapat dinikmati berbagai pihak.
Pembuatan profil perempuan penyandang disabilitas ini didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, P3AP2KB Kabupaten Sleman, hingga Badan Pusat Statistik dan berbagai stakeholder terkait. Diharapkan akan terbentuk satu kumpulan data yang dapat digunakan oleh berbagai pihak sehingga kerancuan dapat dikurangi. (/KOP)