Pengajar dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM Samsul Maarif mengajak mahasiswa dan semua perangkat kampus untuk memerangi stigma negatif terhadap penghayat kepercayaan. Hal ini dinyatakan dalam acara Diskusi MAP Corner-Klub bertema “Agama Lokal, Negara, dan Politik Kewargaan,” Selasa (14/11) di Lobby MAP, Sekip. “Yang melegitimasi stigma bagi para penganut kepercayaan adalah kampus. Melalui pendidikan, semua kepercayaan termasuk adat disamakan menjadi animisme. Animisme digunakan untuk mengacu pada kelompok-kelompok terbelakang, orang-orang yang primitif. Lalu kita berpikir mereka berhak kita didik,” terang Samsul.
Bagi Samsul, keberadaan stigma sosial sebenarnya cukup lumrah. Namun, yang harus diperjuangkan adalah mencegah stigma sosial menjadi norma sosial. “Dengan demikian, kita bisa saling belajar dan berhenti melegitimasi sikap-sikap yang mendiskriminasi,” katanya.
Beberapa saat lalu, Samsul menjadi staf ahli dalam uji materi (judicial review) Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Setelah uji materi tersebut, penghayat kepercayaan diakui sebagai agama yang dapat ditulis dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk. Putusan MK ini merupakan titik balik sejarah yang baru. “Cukup membahagiakan karena sesuai yang kita harapkan. Ini adalah hasil perjuangan panjang buat teman-teman yang concerned terhadap demokrasi dan kebebasan beragama.
Menurut sejarah, posisi agama dunia dan kepercayaan selalu berseberangan. Di masa penjajahan Belanda, agama menjadi alat untuk membedakan warga negara antara yang Islam dan yang menganut kepercayaan. Belanda menggandeng para penghayat kepercayaan, sedangkan Jepang lebih dekat dengan pemeluk Islam.
Di masa kemerdekaan, pembedaan ini masih kentara dengan adanya kelompok Islam, nasionalis dan terbentuknya Piagam Jakarta. Dua kelompok ini identik dengan perbedaan santri dan abangan. “Mereka yang dari kelompok santri saat itu ingin menginfiltrasi negara supaya bisa menjadikan negara instrumen untuk membatasi kelompok lain. Sedangkan kelompok nasionalis ingin agama tidak usah diatur negara, tetapi akhirnya menjadikan agama juga sebagai tameng,” ujar Samsul mengacu pada sila pertama Pancasila.
Setelah Piagam Jakarta ditolak, Kelompok Islam berusaha mempertahankan pengaruhnya dengan membentuk Departemen (Kementerian) Agama pada tahun 1951. Kemenag saat itu mengajukan usulan mengenai agama, yaitu harus memiliki kitab suci, doktrin ketuhanan yang jelas, dan komunitas internasional. “Definisi ini mengeksklusikan kelompok kepercayaan dan adat terutama dalam penggunaan hak-hak sipil. Kepercayaan dan adat merupakan sistem kepercayaan yang diturunkan dari generasi terdahulu berdasarkan pengetahuan empiris, apa yang mereka lihat dan mereka rasakan. Tidak rasional seperti agama-agama dunia sehingga tidak punya kitab, apalagi komunitas internasional,” ujar Samsul.
Kelompok kepercayaan semakin tenggelam dengan pemberlakuan Peraturan Presiden Tahun 1965 yang mengatur enam agama di Indonesia. Kelompok kepercayaan juga diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia di masa orde baru. “Saat itu, PKI adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia. Pendukungnya sangat banyak terutama para petani di desa-desa yang umumnya penghayat kepercayaan,” kata Samsul menerangkan tumbuhnya stigma negatif.
Stigma yang salah kaprah ini terus berlangsung hingga masa reformasi. Misalnya dalam pelayanan publik di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, penganut kepercayaan tidak boleh mengosongkan kolom agama meskipun mereka tidak menganut satupun dari pilihan yang tersedia.
Perjuangan untuk menyetarakan kelompok penghayat kepercayaan dengan agama dunia lebih banyak dilakukan di ranah pendidikan. Sampai saat ini, mayoritas sekolah di Indonesia hanya menyediakan pelajaran untuk enam agama yang diakui oleh pemerintah. “Hal ini jugalah yang membuat anak-anak penghayat kepercayaan didiskriminasi karena dianggap sesat. Untungnya, banyak sekolah yang sudah progresif, misalnya dengan memperbolehkan penganut kepercayaan belajar agama di komunitasnya, mendapat nilai juga di situ,” kata Samsul.
Meskipun putusan MK menjadi langkah awal yang bagus, masih terdapat banyak pekerjaan yang menunggu untuk menyetarakan hak masyarakat adat dan penganut kepercayaan dengan pemeluk agama lokal. Misalnya terkait kelompok-kelompok syiah, gafatar, ahmadiyah, dan sebagainya. Hak masyarakat adat akan tanah, hutan, dan sungai tempat mereka tinggal juga menjadi pekerjaan tersendiri, terutama dalam konteks melawan kepentingan industri ekstraksi. Oleh karena itu, Samsul mengingatkan untuk memulai usaha meningkatkan toleransi, dimulai dari kampus (/KOP).