Muhammad Hasan dan Soni Triantoro adalah dua dari sekian banyak pemuda kreatif yang berhasil memanfaatkan platform online menjadi wadah karya mereka. Keduanya adalah content creator yang berhasil menjadi entrepreneur. Hasan dengan akun Instagram dan YouTube-nya (hasanjr11), sedangkan Soni dengan media online Warning Magazine dan Hipwee. Keduanya sepakat bahwa menyediakan konten yang sesuai dengan tren dan minat konsumen adalah kunci keberhasilan memenangkan perhatian 132 juta pengguna internet di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam talkshow “Platform Online: Antara Ide Kreatif dan Monetisasi”, Rabu (15/11) yang menjadi rangkaian acara Kampung Sospol untuk memperingati Dies Natalis ke-62 Fisipol.
Hasan, yang baru setahun lalu menjadi mahasiswa Teknik Elektro, menyatakan telah memiliki minat membuat konten video sejak duduk di bangku SD. “Tapi, loncatan saya yang terbesar adalah saat kuliah, ketika dapat tugas bikin video angkatan. Saya belajar sendiri selama seminggu dari YouTube buat nge-edit video. Ternyata jadi semakin minat terutama setelah diajak teman yang juga suka bikin content untuk syuting bersama content creator lainnya,” ungkap Hasan. Semenjak itu, ia rajin membuat video-video pendek terutama untuk instagram.
Salah satu video Hasan yang berjudul “22 TIPE KIDS JAMAN NOW vs KIDS JAMAN DULU” (link) sudah ditonton 1.423.397 kali. Hasan mengatakan banyaknya viewers tersebut dikarenakan oleh pemilihan topik yang sedang trending di kalangan generasi muda. “Memang harus nyari topik yang menarik. Kan sekarang sering muncul bahasa-bahasa yang aneh kayak ‘tercyduk’, ‘terpelatuk’, dan yang baru-baru ini ‘kids zaman now’. Orang ga akan nonton kalau ga menarik, dan mereka nggak peduli siapa yang bikin konten. Pokoknya sesuai dengan tren,” kata Hasan.
Hal senada diungkapkan oleh Soni yang menjabat editor-in-chief di Hipwee. Konten-konten berbentuk artikel di Hipwee diusahakan relevan dengan kehidupan segmen pembacanya, yaitu pemuda usia 18-35 tahun. “Ini sesuai dengan tagline kami, ‘Menemani Langkahmu’. Kami berusaha mempersonifikasi Hipwee sebagai kakak perempuan bagi pembaca, dengan watak bijaksana, smart, anggun. Jadi, kontennya memang akrab dan dekat dengan anak muda, misalnya tips-tips dekorasi kamar kos, tips foto sama pacar biar nggak alay, dan masih banyak lagi,” jelas Soni. Untuk terus mempertahankan pembacanya, Hipwee juga menerjunkan para pembuat konten ke masyarakat dengan memberikan waktu lebih banyak di rumah. Dengan begitu, para penulis dapat mengeksplorasi kebutuhan anak-anak muda di sekitar mereka.
Berbeda dengan Hipwee, Warning Magazine yang berdiri sejak tahun 2012 lebih didominasi oleh pembaca dari kalangan penggemar musik dan film. Tetapi, ada juga konten-konten sosial dan politik. “Dulu membuat Warning Magazine, motivasinya adalah manifesto diri saya untuk menciptakan ruang belajar sendiri dalam menulis. Dulu bikin bareng temen-temen sekelas, tapi kemudian sekarang sama yang lebih profesional. Sejak 2013 sampai awal 2016 sudah ada tujuh edisi. Modalnya juga dari kami sendiri,” ujar Soni.
Dari aktivitas online mereka, Hasan dan Soni bisa memiliki penghasilan sendiri. Hasan mengatakan kini bisa punya penghasilan lewat Instagram. “Dulu harus ikut lomba-lomba supaya dapat uang. Sekarang karena followers sudah banyak, uangnya dapat dari endorse produk dan selebgram lain. Karena followers saya sudah hampir 95.000, jadi dapatnya juga bisa sampai Rp 1 juta,” ungkap Hasan.
Soni sebagai penulis konten mengatakan menulis selalu dapat memberikan pekerjaan. Meskipun begitu, ia berpendapat penghasilan wartawan tidak banyak. “Oleh karena itu, di Hipwee kami mencari keuntungan pertama dengan menyediakan ruang advertorial. Di sisi lain, kami menulis artikel, misalnya berisi tips-tips tertentu, dengan memasukkan brand dan produk-produk tertentu dan dipublikasikan di Hipwee. Itu cara kami jualan,” kata Soni.
Di akhir talkshow, Hasan kembali menekankan bahwa untuk bisa menjadi terkenal, konten yang dibuat lebih baik sifatnya ‘kekinian’, sekreatif mungkin.
Sedangkan, soni mengingatkan pentingnya verifikasi informasi agar tidak mudah tertipu hoax. “Pertama, perhatikan dulu medianya apa, pastikan kredibel. Terus,lihat narasumbernya, yang dikutip apa bisa dijadikan acuan. Kemudian kita perlu menyeimbangkan pandangan dengan melihat aktor lain yang terkait atau media lainnya. Jadi memang harus cross-check,” tutur Soni. (/KOP)