Sejak beberapa tahun ini Universitas Gadjah Mada (UGM) berkomitmen dalam membangun dan menciptakan social innovation (inovasi sosial). Hal ini disampaikan oleh Dr. Hargo Utomo, MBA., M.Com selaku Director of Business Development and Incubation dalam acara “Research Forum on Social Innovation” pada 12 Januari lalu. Acara yang diselenggarakan oleh Global Engagement Office (GEO) Fisipol UGM ini juga menghadirkan Ken AOO dari Japan Foundation Center, Rikkyo University sebagai pembicara.
Hargo menjelaskan bahwa UGM telah menciptakan sebuah wahana produktif yang berbasis pada riset dan inovasi. Wahana produktif ini ditujukan untuk mendukung proses pembelajaran yang bersinergi dengan industri dan pemerintah. Hargo mengungkapkan setidaknya terdapat 5 bidang keilmuan yang saling berkaitan dalam membangun inovasi sosial. Pertama, bidang Agro-Industri, berkaitan dengan pembangunan kedaulatan pangan yang sedang digalakan oleh pemerintah.
Kedua, bidang Kesehatan dan Farmasi. Inovasi di bidang ini dimaksudkan untuk mendukung kemandirian bidang kesehatan di Indonesia. Menurut Hargo, alat kesehatan yang selama ini cenderung masih bergantung dengan produk negara lain. Ketiga, bidang Manufaktur, Rekayasa, dan Teknologi Informasi. Inovasi di bidang ini diarahkan untuk pengembangan infrastruktur yang menopang percepatan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional.
Keempat, Bidang Energi Baru dan Terbarukan. Pada bidang ini menyangkut inovasi yang mengarahkan keberlanjutan ekonomi Indonesia yang disubstitusi dengan sumber energi baru dan terbarukan. Kelima, Heritage, Art and Culture, Sustainable Management. Dalam membangun inovasi-inovasi tentu kesadaran untuk menjaga keberlanjutan karya cipta dan nilai luhur menjadi hal yang tidak kalah penting. Keadaan ini juga didukung dengan budaya Indonesia yang begitu beragam.
Hargo menekankan bahwa sinergi antara akademisi, pemerintah , dan industri adalah kunci penting dalam menciptakan inovasi sosial. Bagi Hargo, tantangan besar yang dihadapi sekarang adalah bagaimana menghubungkan industri dengan dunia akademisi karena pertalian antara dua dunia ini masih cukup kurang. Untuk mewujudkan hubungan tersebut, salah satunya harus mendorong research and development (R&D) sebagai sebuah investasi yang akan merubah strategi orientasi. Selain itu, Hargo juga menstimulasi adanya peran industri dalam membangun “corporate lab” di wilayah kampus. “Corporate lab ini sebagai bagian dari aliansi antara dunia akademisi dengan industri”, ujar Hargo. Hargo mengambil salah satu contoh keberhasilan UGM dalam menghubungkan antara dunia akademisi dengan industri yaitu melalui Innovative Academy.
Innovative Academy adalah salah satu ruang yang mendorong kemunculan bisnis start-up digital dari kampus. Melalui Innovative Academy, UGM bekerja bersama untuk mendukung gerakan 1000 start-up yang telah berjalan di 10 kota di Indonesia. Melalui ruang ini juga, UGM mencoba memfasilitasi mahasiswa dalam membangun teknologi kreatif dan inovatif untuk membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat di berbagai bidang.
Pada ranah Internasional, inovasi sosial juga mulai diperhitungkan sebagai alat kebijakan (policy tool). Hal ini diungkapkan oleh Ken dalam pemaparannya. Ken salah satunya mencontohkan negara-negara Eropa yang sejak tahun 2009 menggabungkan inovasi sosial sebagai sebuah alat kebijakan dalam mengurangi kemiskinan dan menciptakan ekonomi inklusif. Di kawasan Asia sendiri, tepatnya Wali kota Seoul, Park Won Soon juga memperkenalkan inovasi sosial sebagai kunci dari kebijakan. (/ran)