Sebagian besar orang akan sulit menolak keistimewaan Jogjakarta. Selain sistem pemerintahan yang terbilang unik, keistimewaan Jogjakarta juga tergambar dari masih kentalnya kebudayaan di masyarakat. Hal inilah yang merupakan salah satu alasan Global Engagement Office (GEO) mengadakan Short Course Program in Yogyakarta untuk kedua kalinya bersama Flinders University.
Agustina Kustulasari, M.A. selaku Manager of Global Engagement Office menambahkan bahwa selain bertetangga, kerjasama Indonesia dan Australia menjadi sangat penting untuk perkembangan interkonektivitas ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Oleh karena itu, dalam program short course ini tidak hanya memperkenalkan Yogyakarta, tetapi juga memaparkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia.
Program yang diselenggarakan pada tanggal 5-10 Februari 2017 ini diisi dengan berbagai kegiatan, diantaranya adalah perkuliahan dan kunjungan ke beberapa tempat seperti Polisi Daerah (Polda) DIY, Pura Pakualaman, dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Yogyakarta. Selain itu, diadakan juga proses diskusi, study tour, dan akan ditutup dengan makan malam bersama.
Pada hari pertama diisi dengan proses perkuliahan oleh Dewi Haryani tentang “Indonesian Social and Political History” dan Karina Dwi Nugrahati tentang “Indonesia Business Law”. Dewi menjelaskan tentang sejarah sosial dan politik Indonesia dari masa Soekarno hingga Joko Widodo (Jokowi). Menurut Dewi, pada masa Soekarno sangat terkenal dengan jargon anti-Barat seperti “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”. Hal ini terkait dengan komitmen Soekarno dalam menolak imperialisme di Indonesia. Dewi juga menambahkan, di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia berada pada kondisi ekonomi yang tidak begitu bagus. Sehingga, hal ini menjadi salah satu penyebab timbulnya ketidakstabilan dalam pemerintahan.
Sedangkan di masa Soeharto, Dewi menekankan pada kondisi dimana kebebasan berpendapat sangat dibatasi oleh pemerintah. “Dulu, jika ada mahasiswa yang mengkritik pemerintah, dia akan hilang. Ini berbeda dengan sekarang, seperti yang kemarin dilakukan oleh mahasiswa Universitas Indonesia yang memberikan kartu kuning saat Jokowi datang di acara dies natalis. Disini Jokowi tidak marah, namun justru menyuruh mahasiswa tersebut pergi ke Papua,” ungkapnya.
Di masa Soeharto juga sangat terkenal dengan kebijakan pembangunan lima tahun (Repelita). Menurut Dewi, Soeharto memang sangat menekankan pada pembangunan infrastruktur dari jalan, rumah sakit, hingga sekolah-sekolah. “Jika Soeharto dengan Repelita, kalau di masa Jokowi punya Nawa Cita,” tambahnya. Dewi mengungkapkan pada para peserta, jika dalam sistem pemerintahan Soeharto bersifat sentralisasi, hal ini berbeda dengan masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menerapkan sistem desentralisasi.
Di tempat yang sama, Gedung BA 204 Fisipol UGM, proses perkuliahan dilanjutkan oleh Karina dengan pembahasan tentang Indonesian Business Law. Karina menyampaikan, dalam konteks ini tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sejarah Indonesia. Dinamika dari masa penjajahan Inggris, Portugis, sampai pergantian sistem pemerintahan ikut membentuk karakter Indonesia sekarang ini.
Program ini diikuti oleh 30 peserta yang lima diantaranya adalah mahasiswa UGM. Terakhir, acara akan ditutup dengan makan malam dan penampilan dari setiap grup yang telah dibentuk di awal pertemuan. (/ran)