Di masa seperti ini, hampir seluruh sektor kehidupan terhubung dengan teknologi digital. Keadaan ini tentu memberikan beberapa perubahan baik dalam sektor ekonomi, sosial, politik, ataupun budaya di masyarakat. Fenomena-fenomena inilah yang menjadi perhatian khusus Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM.
Melalui acara Digital Future Discussion (Diffusion), CfDS memaparkan beberapa hasil risetnya dengan mengusung tema “2017 CfDS Rewind Series”. Beberapa hasil riset tersebut, antara lain New Battlegrounds for E-Commerce: Amazon and Alibaba’s Foreign Investment in 2017 yang disampaikan oleh Gehan Ghofari, on #MeToo, Net Neutrality and Other Internet Megaphones of 2017 disampaikan oleh Nabeel Khawarizmy, dan Indonesia’s 2017 Struggle against Fake News and Post-truth Politics oleh Viyasa Rahyaputra.
Bertempat di Digilib Café (08/02), Viyasa membuka sesi pertama dengan memaparkan tentang berita palsu atau hoaks yang beredar di tahun 2017 lalu. Menurut Viyasa, terdapat tiga berita palsu cukup fenomenal yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di tahun 2017. Pertama, berita palsu tentang 10 juta pekerja China yang masuk Indonesia. Hal tersebut diduga karena Ahok yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Jakarta. Padahal faktanya, hanya terdapat 70 ribu pekerja asing, dua ribu orang diantaranya adalah pekerja dari China. “Angka tersebut masih berada pada batas wajar,” ungkap Viyasa.
Kedua, berita tentang vaksin gratis yang diberikan Ahok diduga menyebabkan menurunnya kesuburan para perempuan. Beredar kabar bahwa vaksin tersebut berasal dari China yang ditujukan untuk menghambat populasi Indonesia. Tentu, menurut Viyasa, kabar tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Ketiga, kabar tentang desain uang yang mirip dengan lambang komunisme.
Viyasa mengungkapkan berita-berita palsu tersebut berdampak pada semakin meningkatnya antipati terhadap etnis Tionghoa. Menurut Viyasa, antipati inilah yang menjadi salah satu penyebab Ahok kalah dalam pemilihan gubernur Jakarta 2017. Oleh karena itu, Viyasa memprediksikan bahwa berita palsu akan kembali muncul di pemilihan daerah tahun 2018 ini. Hal ini mengingat berita palsu cukup efektif dalam menjatuhkan lawan politik.
Pemaparan kedua disampaikan oleh Gehan yang mengangkat isu tentang dua perusahaan E-commerce raksasa, yaitu Amazon dan Alibaba. Kedua perusahaan ini memang telah merajai perdagangan melalui elektronik di berbagai negara. Dalam pemaparannya, Gehan mencoba membedakan geliat bisnis yang diterapkan oleh dua perusahaan ini. Alibaba lebih cenderung berperan sebagai investor dalam memperluas jangkauan perusahaannya. “Di tingkat internasional, Alibaba menjadi investor perusahaan lokal yang sudah ada. Di Indonesia, Alibaba memberikan investasi 1,1 milyar dolar kepada Tokopedia,” papar Gehan. Selain itu, Alibaba juga menjadi pemegang saham dominan di Lazada.
Sedangkan, Amazon lebih cenderung menjadi pemain langsung di negara-negara tujuan, seperti India, Singapura, maupun di Benua Eropa. Perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat ini memang memiliki strategi khusus dengan mengincar pasar-pasar yag sudah maju dan tingkat konsumsinya tinggi.
Gehan menjelaskan bahwa dengan meluasnya dua perusahaan ini memberikan signifikansi terhadap pasar negara yang dituju. Pertama, peristiwa investasi asing dari dua perusahaan ini mengindikasikan pasar domestik yang potensial. Namun, hal ini juga bisa berarti negara yang dituju memiliki tingkat konsumsi tinggi. Kedua, menunjukkan bahwa kompetisi pasar akan semakin ketat. Ketiga, dengan suksesnya Alibaba dan Amazon yang masuk ke negara-negara berkembang, ini akan mendorong masuknya investasi asing lain.
Isu selanjutnya tentang digital activism yang disampaikan oleh Nabeel. Dalam hal ini Nabeel menggunakan studi kasus tagar “Me Too” (#MeToo) yang berhasil dalam mengampanyekan anti pelecahan seksual. Nabeel mengungkapkan bahwa penggunaan tagar cukup efektif dalam melakukan kampanye digital. Selain itu, Nabeel juga menekankan bahwa tagar merupakan salah satu bentuk edukasi publik yang dilakukan melalui internet. (/ran)