Ilmu sosial yang berkembang di dunia akademik Indonesia saat ini cenderung ahistoris. Fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat hanya dikaji secara tunggal tanpa melihat perkembangan sejarah yang melatarbelakanginya. Selain ahistoris, ilmu sosial juga terkesan apolitis. Para ilmuwan sejarah seakan melihat permasalahan sosial tanpa mengaitkan kondisi ekonomi-politik yang memicu munculnya peristiwa tersebut. Hal ini seakan menjelaskan adanya segmentasi antara ilmu sosial dan ilmu sejarah. Kondisi inilah yang kemudian melatarbelakangi adanya diskusi publik MAP-Corner Klub MKP yang bertajuk “Ilmu Sejarah & Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia” (27/2).
Berlokasi di Lobi Gedung Magister Administrasi Publik UGM, diskusi tersebut mengundang dua pembicara, yaitu Abdul Wahid, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM dan Lambang Trijono, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM. Sebagai pembicara pertama, Lambang Trijono, menerangkan kondisi ilmu sosial saat ini berada pada episode tertentu yang terpenggal dan tidak banyak terkait dengan episode-episode sebelumnya. “Penggalan itu diisi oleh sebuah ilmu dominan yang sesungguhnya berisi kepentingan dari kekuatan besar,” terang Lambang Trijono.
Penggalan tersebut, menurut Lambang Trijono, akan menjadi arena pertarungan antara kontruksi pemikiran. Jika penggalan tersebut kehilangan daya kritis, maka pengetahuan yang diciptakan hanya sebuah fantasi atau sebuah imajinasi. Pada pengetahuan yang demikian, ilmu hanya berisi imajinasi dan manipulasi atas sebuah realitas yang terjadi. “Untuk keluar dari itu, kita harus kembali ke isi dari ilmu sosial yang ingin mencapai sesuatu yang riil dan bukan konstruksi,” tambahnya.
“Sebagian besar ilmu sejarah di Indonesia itu apolitis, tapi sebagian kecilnya tidak,” ucap Abdul Wahid. Ia beralasan dengan bahwa asumsi dasar bahwa setiap manusia ialah mahluk politik. Oleh karena itu, pemilihan topik sebelum menulis sejarah adalah pilihan politik. Bahkan menurutnya, sikap yang dikatakan apolitis juga merupakan sebuah sikap politis.
Selanjutnya, ia memaparkan kondisi perkembangan ilmu sejarah Indonesia yang terdikotomi menjadi empat periode, yaitu periode kolonial periode republik 1 atau masa national state building, periode republik 2 atau develop mentalism, dan terakhir periode republik 3 atau reformasi. Pada periode pertama, sejarah Indonesia dihasilkan oleh kolonialis yang bertujuan untuk memahami masyarakat setempat demi kepentingan mereka. “Oleh sebab itu, bagi sejarawan atau yang sedang belajar sejarah, pasti tidak asing dengan ungkapan sejarah Indonesia lahir dari gladak kapal VOC,” terang Abdul Wahid.
Periode berikutnya adalah periode republik 1. Pada masa ini para pemimpin nasional -setelah mendeklarasikan kemerdekaan- bersepakat untuk menulis ulang sejarah Indonesia sendiri. Upaya pertama yang dilakukan, yaitu menyelenggarakan seminar nasional sejarah Indonesia yang pertama. Seminar ini bertujuan untuk mencari bentuk dan dasar bagaimana sejarah Indonesia itu ditulis. Pada periode ketiga atau periode republik 2, penulisan sejarah sudah diarahkan untuk lebih independen tanpa ada tendensi politik dan dekat dengan ilmu sosial. Selanjutnya, pada periode keempat atau periode republik 3 barulah sejarah Indonesia mulai memiliki konstruksi sejarah sendiri dan sejarawan mulai menulis sejarah tentang daerah-daerah di Indonesia. “Produksi ilmu pengetahuan kesejarahan sangat kuat sekali berada di dalam genggaman negara, dan itu diinstitusionalkan oleh negara dalam berbagai bentuk, seperti museum, nama jalan, tugu, monumen,” tambahnya.