Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) FISIPOL menghelat seri diskusi kedua bertajuk Agraria dan Industrialisasi di Selasar Barat (5/3). Diskusi yang mengundang Profesor Susetiawan, Guru Besar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) dan Arif Novianto, Aktivis Rakyat Kendeng Berdaulat dan Asisten Peneliti MAP UGM ini membicarakan mengenai konflik agraria di Indonesia.
Menurut sejarah, konflik agraria sudah terjadi sebelum kemerdekaan Indonesia selalu berkaitan dengan tiga aktor didalamnya yaitu negara, swasta dan masyarakat. Ketiga aktor tersebut saling berebut untuk mengakuisisi hak atas tanah dan kepemilikannya. Sedikitnya terjadi 450 konflik agraria dari berbagai sektor setiap tahun. Seperti sektor perkebunan, infrastruktur dan properti.
“Hal ini sekaligus menunjukan, bahwa ideologi pembangunan pasca reformasi yang berjalan saat ini adalah industrialisasi komoditas bersifat export–oriented,” buka Arif Novianto. Beberapa contoh komoditas tersebut diantaranya seperti; perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan pertambangan batu bara. Kondisi permasalahan agraria yang terus meningkat setiap tahunnya, kemudian berimbas pada menurunnya jumlah petani.
Berdasarkan data sensus pertanian 2003 hingga 2013, ada sedikitnya 5,13 juta rumah tangga petani yang tidak lagi bertani. Padahal sebagian besar petani merupakan buruh tani yang bergantung pada sektor pertanian. Penurunan jumlah petani ini pun juga terlihat pada tahun 1990an dimana sekitar 77.000 petani di salah satu daerah berhenti bertani. Kala itu pemerintah melihatnya sebagai permasalahan teknis tanpa memperhitungkan faktor strukturalnya. Sehingga kemudian solusi yang diberikan bukan pembagian tanah, melainkan pembangunan pabrik semen. Akibatnya banyak sekali tanah yang dialihfungsikan untuk mendukung tujuan tersebut. “Ini menunjukkan adanya ketimpangan fungsi agraria yang ditimbulkan oleh pemerintah,” terang Arif.
Susetiawan pun menambahkan jika persoalan agraria terkait perebutan sumber-sumber produksi ini terus dibiarkan maka akan memungkinkan terjadinya chaos. Hal ini dikarenakan kepentingan para aktor yang tidak terbatas yang tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber produksi. Selain itu, proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh para ekonom modern melalui industrialisasi dianggap hanya merugikan para petani dan buruh.
Industrialisasi yang merugikan ini terlihat dari proses produksi berorientasi keuntungan dengan menekan biaya produksi. Penekanan biaya produksi dilakukan dengan memangkas biaya tenaga kerja yang dianggap sebagai biaya produksi tidak tetap dan mempertahankan pengeluaran untuk barang atau bahan baku. Maka tenaga kerja yang harusnya dibayar per jam justru dibayar perhari. Misalnya, dengan jam kerja sejumlah 8 jam, kira-kira ada 7 jam yang tidak dibayar. Hal ini menjadi salah satu proses penciptaan capital accumulation. Susetiawan mengatakan bahwa proses penciptaan capital accumulation terjadi salah satunya karena adanya eksploitasi tenaga kerja.
Kendati telah ada peraturan yang mengatur tentang upah minimum bagi tenaga kerja, kondisi yang terjadi di Indonesia tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah yang seharusnya memiliki otoritas tertinggi justru bisa dikalahkan oleh bisnis. “Di Indonesia itukan kekuatan terbesar bisnis, negaranya lemah. Itulah soal besar kita,” pungkas Susetiawan.