Pada tahun 2018 ini Women’s March hadir di Yogyakarta. Aksi yang digelar hari Sabtu, 10 Maret lalu ini mengangkat isu-isu dan persoalan perempuan khususnya yang terjadi di Yogyakarta. Terdapat 11 tuntutan utama yang diajukan kepada pemerintah dan masyarakat.
Tuntutan tersebut adalah menolak domestifikasi; mendorong pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang ramah gender; edukasi hak tubuh; menolak seksisme; menuntut keadilan pada korban pelecehan seksual; mengajak masyarakat mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual; memperjuangkan hak-hak kelompok marjinal dan nasib para pekerja dan petani; menolak diskriminasi di kampus; menolak perilaku diskriminasi dan rasisme; menolak penindasan struktural pada perempuan.
Dari 11 tuntutan, persoalan kekerasan seksual memang cukup menarik perhatian sebagian besar peserta Women’s March. Tidak terkecuali bagi para peserta yang hadir secara khusus mewakili Fisipol UGM. Di Women’s March tahun ini Fisipol memang menjadi salah satu lembaga yang terlibat dalam aksi. Gerakan bersama yang bertajuk “Fisipol Goes to March” ini dikoordinasikan oleh Institute of International Studies (IIS) Fisipol UGM. Menurut penuturan Ayu Diasti Rahmawati selaku perwakilan IIS, gerakan ini berawal dari kelas Gender dan Politik yang ia ampu.
“Awalnya teman-teman kelas Gender dan Politik yang saya ampu ingin mengikuti Women’s March. Ternyata beberapa teman IIS, Sosiologi, DPP juga ingin ikut serta. Akhirnya, setelah mendapat ijin dari Dekan untuk membuat call for participation bertajuk Fisipol Goes to March,” paparnya. Ayu menambahkan bahwa aksi ini tidak hanya diikuti oleh mahasiswa saja. Dari staf, dosen hingga alumni juga ikut serta dalam aksi ini.
Ayu juga membenarkan bahwa tuntutan utama yang dibawa oleh teman-teman dari Fisipol adalah persolaan kekerasan seksual khusunya di area kampus. Bahkan, penyintas (korban) kekerasan seksual di kampus turun langsung dalam aksi tersebut. Menurut Ayu, persoalan ini dekat dengan kita, namun tidak pernah terbahas atau orang menolak untuk membahas karena berbagai alasan.
“Kami merasa sudah saatnya kita membicarakannya dan mulai mencari solusinya karena sekolah dan kampus harusnya jadi ruang aman dan nyaman untuk belajar” tambahnya.
Dalam sesi orasi yang dilakukan di titik Nol Km Jalan Malioboro, Fisipol juga menyampaikan beberapa poin mengenai persoalan kekerasan seksual di area kampus. Orasi tersebut diwakili oleh Selma Theofany dari Departemen Hubungan Internasional (HI) Fisipol UGM. Dalam orasinya Selma mengungkapkan bahwa kegiatan seperti bimbingan tugas akhir, wawancara, bahkan interaksi sehari-hari menjadi lahan oleh pihak-pihak yang seharusnya terdidik namun justru melakukan kekerasan maupun pelecehan seksual.
Selma juga sangat menyayangkan bahwa banyak suara-suara korban yang terbaikan. Dari tahun 2000 hingga 2015, hanya 214 kasus kekerasan seksual oleh dosen, guru, dan staf akademik yang terlapor. Padahal masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak terungkap atau bahkan sengaja tidak diungkap.
Oleh karena itu, di akhir orasinya Selma menegaskan, “Pada Hari Perempuan Internasional ini, kami menolak dan melawan berbagai kekerasan maupun pelecehan seksual yang terjadi kampus. Kami menuntut adanya tidakan tegas terhadap pelaku dan kamu menuntut adanya keberpihakan kepada para penyintas.” (/ran)