Di Women’s March 10 Maret lalu ratusan orang dari perempuan hingga laki-laki bersama-sama menuntut kesetaraan dan menolak berbagai bentuk diskriminasi maupun kekerasan seksual. Aksi ini didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas, salah satunya Fisipol UGM dengan seruan “Fisipol Goes to March” menjadi salah satu peserta yang ikut berpartisipasi dalam aksi tersebut.
Tidak berhenti di aksi tersebut, Youth Studies Centre (Yousure) bersama dengan Institute of International Studies (IIS) Fisipol UGM mengadakan rangkaian acara yang bertajuk “Why We Protest?” sebagai acara lanjutan setelah Women’s March.
Acara yang dilaksanakan tanggal 28-29 Maret ini memamerkan beberapa poster dan dokumentasi dari aksi Women’s March. Pameran ini dibuka sejak tanggal 28 Maret dengan screening film Hunting Ground sebagai pembukannya. Di tanggal 29 Maret dan sekaligus penutup pameran diadakan talk show yang menghadirkan Poppy Sulistyaning Winanti selaku Dosen Ilmu Hubungan Internasional (HI) sekaligus Wakil Dekan Fisipol dan Priscilla Mariana selaku Koordinator Women’s March Yogyakarta sebagai pembicara.
Dalam pemaparannya, Priscilla menceritakan bagaimana proses dan kelanjutan dari aksi Women’s March kemarin. Priscilla mengungkapkan, ada 11 tuntutan utama yang dibawa dalam aksi kemarin. Dimana tuntutan-tuntutan tersebut datang dari berbagai komunitas maupun individu yang ikut berpartisipasi. “11 isu yang diangkat bukan hanya usulan dari satu komunitas atau satu individu, tapi itu dibulatkan pada konsolidasi,” ungkapnya.
Dari 11 tuntutan, kekerasan seksual memang menjadi salah satu highlight dalam aksi tersebut. Hal ini mengingat kekerasan seksual masih menjadi persoalan krusial di Indonesia. Tidak hanya akan terjadi di tempat umum, bahkan lingkungan universitas juga tidak luput dari ancaman kekerasan seksual.
Poppy membenarkan hal tersebut. Bahkan dalam pemaparannya, Poppy sempat merasa emosional membaca testimoni-tertimoni dari para penyintas kekerasan seksual di kampus.
Poppy mengungkapkan bahwa penanganan kekerasan sudah dari pikiran bersifat tidak adil. “Banyak orang yang meragukan, ‘benar nggak sih ada kekerasan seks’, itu saja pertanyaan yang tidak berempati kepada survival atau yang mengalaminya,” jelasnya.
Menurutnya, kita semua harus merumuskan cara yang mengena dan bijak bagaimana prosedur menangani masalah kekerasan seksual di semua level bukan hanya mahasiswa, tapi juga dosen atau semua warga yang ada di kampus. Sehingga kampus benar-benar menjadi lingkungan yang “zero kekerasan seksual” bisa direalisasikkan.
Di UGM sendiri sejak 2016 lalu telah merumuskan pedoman atau peraturan tentang pelecehan dan kekerasan di area kampus. Dimana pedoman tersebut tercantum dalam Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 1699 UM1.P SK 2016 tentang Pedoman Pelecehan Seksual di Lingkungan UGM. Isinya membedakan atau mengkategorikan berbagai macam pelecehan diantaranya pelecehan akademik, seksual, hingga penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, Poppy menegaskan bahwa peraturaan tersebut merupakan bentuk kecil dari upaya kampus dalam menanggapi persoalan tersebut. Poppy juga menambahkan bahwa Departemen HI pada tahun 2016 lalu juga mengeluarkan pedoman mengenai tindakan kekerasan seksual. Pedoman tersebut dikeluarkan atas dasar hasil kajian teman-teman baik mahasiswa S1 maupun S2.
Oleh karena itu, Poppy sangat menyerankan kepada siapa saja untuk berani melapor ke pihak-pihak yang tepat. “Jangan malu jika teman-teman mengalami itu semua dan harus berani speak up. Cari bantuan ke teman-teman terdekat dan beri tahu kami sebagai orang tua kalian di kampus. Tentunya teman-teman butuh support dari kita semua,” ungkapnya.
Dalam kesempatan ini, salah satu penyintas atau survival kekerasan seksual di tahun 2002 juga hadir di tengah-tengah peserta diskusi. Ia mengungkapkan bagaimana perjuangan untuk bertahan dari peristiwa tersebut. “Itu adalah pengalaman yang sangat lonely, menyakitkan, bahkan puluhan tahun setelahnya itu masih sangat menyakitkan,” ungkapnya. Ia juga sangat menegaskan bahwa kata penyintas adalah bentuk penghargaan bagi mereka yang mengalaminya. Baginya, penyintas bukan hanya sebagai seorang yang mendapat perlakuan tidak baik, tapi juga bertahan dari apa yang terjadi. (/ran)