Dua pengajar senior Fisipol dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI), Nur Rahmat Yuliantoro dan Siti Muthiah Setiawati menyatakan dukungannya kepada pemerintah Indonesia dalam mengupayakan kemerdekaan Palestina. Dukungan berdasar pada UUD 1945 yang menentang penjajahan bangsa, serta kesesuaian dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Meski demikian, dalam konferensi pers pada Kamis (14/12), Rachmat dan Siti menegaskan pandangan ini merefleksikan pandangan keduanya dan bukan Fisipol ataupun Universitas Gadjah Mada.
Presiden Indonesia Joko Widodo terlibat dalam konsolidasi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Istanbul, Turki. Presiden Jokowi menghimbau OKI untuk menolak unilateralisme Amerika Serikat (AS) dan menyebut solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan keluar konflik Israel-Palestina. “Langkah ini sejalan dengan Resolusi PBB nomor 476 da 480 yang intinya menyebut pendudukan Israel atas Yerusalem sebagai null and void. Artinya, pendudukan tahun 1967 itu aneksasi ilegal,” ungkap Siti. Ia juga mengklaim solusi dua negara sebagai solusi paling rasional.
Siti berpendapat pendudukan Israel atas Yerusalem Timur menimbulkan diskriminasi yang bagi bangsa Arab Palestina. Meskipun lahir di Yerusalem, warga Arab Palestina tidak mendapatkan hak-hak yang sama dan tidak diakui sebagai warga Israel. Padahal, dari segi jumlah, Arab Palestina adalah mayoritas. “Di Yerusalem Timur, ada 420.000 penduduk beretnis Arab Palestina. Sedangkan, populasi Yahudi hanya 200.000. Jumlah penduduk Arab Palestina yang mayoritas ini menyebabkan Yerusalem tidak cocok dijadikan ibu kota”. Diskriminasi juga dapat dilihat pada pembangunan pemukiman-pemukiman Israel di Tepi Barat yang bahkan ditolak oleh pemerintahan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama.
Terkait dengan konflik Israel-Palestina, Siti menyatakan bahwa secara teori, konflik ini dikategorikan sebagai konflik teritorial. Namun, “Munculnya ideologi Zionisme dari orang-orang Yahudi adalah bentuk klaim agama. Menurut mereka, wilayah Tepi Barat, yang disebut dalam kitab Taurat sebagai Samaria dan Yudea, merupakan tanah yang dijanjikan oleh Yahweh khusus untuk bangsa Yahudi,” ungkap Siti. Dengan begitu, konflik ini dapat dianggap sebagai konflik agama.
Terkait dengan AS, Rachmat menyebut kebijakan Presiden Donald Trump memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai kelanjutan dari rentetan kebijakan kontroversial. “Selama ini kita sudah melihat bahwa Trump menyatakan AS keluar dari Kesepakatan Paris, mendorong kesepakatan nuklir dengan Iran dibatalkan, rencana renegosiasi NAFTA, lalu AS juga keluar dari UNESCO bersama dengan Israel”.
Menurut Rachmat, kebijakan ini merupakan representasi dari manly politics yang dijalankan oleh Trump. “Ini dapat berkaitan dengan kepribadian Trump. Politik kelaki-lakian ini ditunjukkan dengan memamerkan kekuasaan serta rasa percaya diri yang sangat tinggi”. Rachmat menambahkan, kepercayaan diri ini terpancar pula dari dukungan Trump pada calon senator Alabama Roy Moore yang kalah karena tuduhan pelecehan seksual. Trump sendiri yang terkena tuduhan serupa terus menyangkalnya.
Selain itu, Rachmat juga mencatat bahwa terdapat indikasi friksi dalam tubuh pemerintahan AS, terutama antara Trump dan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson. Tillerson telah membujuk Trump untuk tidak mengumumkan pemindahan kedubes AS ke Yerusalem. Trump tetap mempertahankan pendiriannya yang berbeda, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Kesepakatan Paris dan nuklir Iran. “Terlepas dari itu, pemindahan kedubes AS akan memakan waktu yang lama karena kebutuhan dana yang besar. Terutama karena Trump telah memotong anggaran untuk urusan-urusan luar negeri”.
Sebelum mengakhiri konferensi pers, Rachmat dan Siti kembali mengingatkan bahwa telah banyak hal yang dilakukan pemerintah Indonesia. Siti menyebutkan, “Sejak 1980-an, pemerintah Indonesia sudah aktif mengirimkan bantuan kepada rakyat Palestina. Diplomasi Indonesia telah berhasil membuat keberadaan Indonesia di Palestina terasa, misalnya dengan keberadaan Rumah Sakit Indonesia serta Konsulat Jenderal Indonesia di kota Ramallah”.
Rachmat menambahkan, “Selain aksi massal seperti demonstrasi dan doa bersama, masyarakat Indonesia bisa mendorong pemerintah Indonesia atau negara-negara OKI untuk mendukung Palestina secara konkret melalui berbagai saluran yang ada”. (/KOP)