Koalisi kampanye global dalam isu pelucutan senjata nuklir, International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) dijadwalkan menerima Penghargaan Nobel Perdamaian 2017 di Oslo, Norwegia pada 10 Desember 2017 mendatang. Dalam delegasi yang turut hadir dalam upacara penyerahan penghargaan, terdapat Drs. Muhadi Sugiono, MA. Dan Yunizar Adiputera, MA, dua orang akademisi dari Institute of International Studies (IIS) UGM yang merupakan mitra resmi ICAN dari Indonesia.
ICAN dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian atas upayanya menarik perhatian khalayak global pada konsekuensi kemanusiaan yang diakibatkan oleh senjata nuklir. Lebih lanjut, hal ini juga merupakan bentuk apresiasi atas usaha ICAN dalam mendorong negosiasi traktat atas kekosongan perjanjian internasional dalam isu senjata nuklir. ICAN sendiri senantiasa memobilisasi masyarakat internasional untuk menginspirasi, mempersuasi, dan menekan pemerintah masing-masing negara untuk mendukung upaya pelarangan senjata nuklir.
Dalam konferensi pers yang dilakukan di Ruang Sidang Departemen Hubungan Internasional pada Rabu (6/12), Muhadi mengatakan bahwa penghargaan ini memiliki arti penting bagi pergerakan anti-nuklir. “Bagi kami di ICAN, penghargaan ini merupakan hal yang luar biasa. Tetapi lebih dari itu, penghargaan ini menandakan bahwa masyarakat internasional memiliki kepedulian dengan perdamaian. Lebih lanjut, masyarakat menerima gagasan perdamaian berbasis kemanusiaan yang dirumuskan oleh ICAN,” ungkap Muhadi.
ICAN bersama dengan seluruh mitra resminya yang tersebar di 100 negara berhasil mendorong diadopsinya Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapon oleh PBB. Traktat ini diadopsi pada 7 Juli lalu setelah negosiasi dan proses diplomasi yang cukup panjang. Meskipun begitu, implementasi traktat pada dunia internasional masih menunggu putusan ratifikasi dari minimal 50 negara. “Untuk mendorong negara-negara melakukan ratifikasi, ICAN akan menggelar kampanye 1000 hari. Rencananya akan selesai pada September 2020,” ungkap Yunizar.
Dengan adanya traktat tersebut, status penggunaan, pengembangan, ataupun kepemilikan senjata nuklir akan menjadi tidak sah. Perjanjian ini tidak serta merta akan berpengaruh secara langsung, namun secara politik memiliki makna yang penting. “Traktat ini bila telah berjalan akan memberikan label dan kesan ‘buruk’ pada negara-negara pemilik nuklir karena tidak mematuhi norma internasional yang berlaku,” kata Muhadi. Lebih lanjut, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM ini mengatakan bahwa traktat ini bukanlah akhir dari perjuangan pelarangan senjata nuklir. “Justru merupakan awal dari langkah pelucutan senjata nuklir di dunia,” ucap Muhadi.
IIS UGM sendiri merupakan salah satu rekanan resmi dari ICAN di Indonesia. Secara lebih spesifik, IIS memiliki peran untuk meyakinkan pemerintah Indonesia untuk mendukung gerakan pelucutan senjata nuklir. Sebelumnya, Indonesia masih memiliki perhatian yang kurang terhadap isu pelucutan senjata, utamanya nuklir. Hal ini coba diadvokasikan oleh IIS melalui kanal-kanal politik resmi Indonesia seperti pada parlemen maupun pejabat berwenang.
Meskipun tidak memiliki senjata nuklir, Indonesia memiliki peranan penting dalam kampanye pelucutan senjata nuklir. “Indonesia merupakan pemimpin negara non-blok dalam isu pelucutan. Selain itu Indonesia juga memiliki pengaruh di Asia Tenggara,” ujar Muhadi. Selain menyasar Indonesia, negara-negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara turut menjadi sasaran lobi dan diplomasi.