Sejak ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 1950, pemerintah pusat telah mengesahkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Dengan keistimewaannya ini tentu Yogyakarta mendapat beberapa keuntungan, salah satunya adalah dana istimewa yang didapatkan setiap tahun. Namun, dengan keistimewaanya ini tidak lantas membawa Yogyakarta pada kondisi yang makmur. Seperti yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 bahwa ketimpangan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada pada angka 0,43 melebihi angka ketimpangan nasional. Padahal di tahun yang sama, DIY mendapat kucuran dana istimewa sebesar Rp 853,90 miliar, lebih besar dari tahun 2016 yang hanya 547,45 miliar.
Atas dasar tersebut, Magister Administrasi Publik (MAP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar diskusi mingguan yang bertajuk Ketimpangan Ekonomi dan Undang-Undang Keistimewaan DIY pada Selasa, 24 Oktober. Turut hadir Purwo Santoso selaku Guru Besar Fisipol UGM sekaligus Rektor Universitas Nadatul Ulama. Selain itu, diskusi ini juga dihadiri oleh Kus Antoro sebagai Pegiat Forum Komunikasi Masyarakat Agraria dan Tri Wahyuni Suci sebagai Peneliti Institute for Development and Economic Analysis (IDEA).
Dari hasil penelitian IDEA, Tri memaparkan empat poin yang menjadi dasar masalah ketimpangan di DIY. Pertama, kenaikan pertumbuhan ekonomi DIY yang tidak diikuti dengan pemerataan. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan hotel, mal, maupun apartemen hanya terpusat di daerah perkotaan. Selain itu, pembangunan tersebut hanya menyasar kelompok menengah atas dan pendatang “kaya”. Kedua, pesatnya pertumbuhan hotel dan industri pariwisata yang tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja berpendidikan. Ketiga, kelompok ekonomi mampu mulai mengubah gaya hidup mengikuti perkembangan pembangunan, kelompok ekonomi terbawah tetap mempertahankan gaya hidup sederhana. Hal ini menandakan bahwa pola konsumsi masyarakat bawah tidak secepat masyarakat menengah atas. Mengingat tingkat konsumsi juga masuk pada indikator rasio gini. Keempat, terjadinya alih fungsi lahan dimana banyak lahan pertanian yang dijadikan perumahan, mal, ataupun hotel. Menurut Tri, alih fungsi lahan ini lantas tidak dibarengi dengan perubahan skill sehingga para petani tidak bisa terserap oleh proses pembangunan.
Kus membenarkan bahwa persoalan tata kelola lahan memang menjadi persoalan penting dalam melihat ketimpangan di DIY. Hal ini sangat berkaitan dengan UU keistimewaan itu sendiri. Dimana pasca-penerapan UU tersebut, penguasaan tanah sebagai alat produksi dan penguasaan tata ruang sebagai pengaturan fungsi lahan. Puncak persoalan ini hanya akan berujung pada akumulasi untung rugi dan penguasaan oleh segelintir orang. Keadaan inilah yang membuat jurang ketimpangan semakin lebar.
Sedangkan untuk masalah dana istimewa, Tri mengungkapkan bahwa ada peluang untuk menurunkan tingkat ketimpangan. “Yang baru disampaikan oleh Bappeda adalah dana istimewa ini bisa dikelola oleh desa, selama ini kan dananya dikelola oleh provinsi dan kabupaten. Nah tahun 2018 dana istimewa akan diserahkan ke desa kemudian desa bisa mengelolah dana tersebut. Tapi konsep ini usulan dari kepala desa kemudian diakomodasi oleh provinsi,” jelasnya. Hal ini diharapkan dana istimewa bisa ikut serta dalam mengintervensi tingkat ketimpangan di DIY.
Di sisi lain, Kus menjelaskan bahwa selama ini memang dana istimewa masih terserap banyak di bidang kebudayaan. Di tahun 2017 ini, dana istimewa yang terserap di bidang kebudayaan sebesar 439,9 miliar. “Dana istimewa ini diamanatkan untuk kebudayaan, kelembagaan, pengisian jabatan gubernur, pertanahan, dan tata ruang. Artinya untuk menerjemahkan angka kemiskinan itu bisa keluar dari apa yang diamanatkan oleh undang-undang dalam program sesungguhnya. Dana istimewa digunakan untuk perawatan keraton itu malah boleh, tapi kalau untuk infrastruktur itu justru menyalahi amanat,” papar Kus.
Hal ini juga disampaikan oleh Purwo bahwa dana keistimewaan tidak bisa secara langsung digunakan untuk mengatasi ketimpangan. Purwo menganggap perlu adanya strategi kebudayaan untuk mengatasi ketimpangan yang ada. “Misalnya urusan tanah, bagaimana mengalihan hak atas tanah itu. Orang jogja punya kecerdasan luar biasa merespon datangnya mal dan hotel yang banyak, ada kampanye masif Jogja Asat, Jogja Ra Didol, ini kapasitas berwacana yang tidak ada di tempat lain,” jelasnya. Menurut Purwo, kecerdasan-kecerdasan itulah yang harus diasah dan diolah menjadi strategi sosial-kultural di masing-masing tempat sehingga pelepasan hak atas tanah itu tidak asal. (/ran)