ARTJOG 2020 Buktikan Pandemi Tak Halangi Eksistensi Pameran Seni

Yogyakarta, 10 Oktober 2020—ARTJOG, pameran seni tahunan di Yogyakarta semenjak 2008, berusaha untuk tetap eksis di tengah pandemi Covid-19. Bersama para seniman, ARTJOG 2020 memanfaatkan momen pandemi untuk menciptakan konsep karya-karya baru yang bisa dinikmati di tengah keterbatasan, yaitu melalui pameran dan film dokumenter. Topik ini dibahas dalam Digital Future Discussion (Difussion) #35 oleh Center for Digital Society (CfDS) UGM bersama Gading Narendra Paksi, Program Manajer ARTJOG 2020 (09/10). Dalam diskusi tersebut, Gading menceritakan bagaimana perjalanan ARTJOG di tengah pandemi ini. ARTJOG 2020 digelar mulai tanggal 8 Agustus hingga 10 Oktober. Apabila biasanya ARTJOG menggunakan tiga gedung di Jogja National Museum (JNM), tahun ini ARTJOG hanya menggunakan satu gedung untuk pameran. Pameran dibuka selama tiga sesi dengan batasan 60 pengunjung setiap sesinya, yaitu pada pukul 10.00 – 12.00, 13.00 – 15.00, dan 16.00 – 18.00. Karya-karya yang ditampilkan pun lebih menonjolkan aspek dua dimensi serta tidak melibatkan interaksi dengan pengunjung. Selain itu, ARTJOG 2020 juga bekerja sama dengan Kurnia Yudha dan tim dokumenternya untuk membuat film berjudul Expanded ARTJOG. Film ini menggambarkan tentang bagaimana persiapan dan pelaksanaan ARTJOG 2020 di tengah keterbatasan pandemi Covid-19. Pengunjung bisa mengakses film Expanded ARTJOG di resilience.artjog.co.id dengan membayar sebesar lima belas ribu rupiah. ARTJOG juga mengadakan program Artcare, yaitu mengajak para seniman untuk membuat karya-karya yang kemudian disatukan dalam sebuah box set. Karya tersebut nantinya akan dijual dan hasil penjualannya disumbangkan kepada masyarakat yang terdampak Covid. Program-program pameran, film, dan Artcare merupakan salah satu wujud penyesuaian ARTJOG di tengah pandemi. Mulanya, ARTJOG berencana untuk membuat rangkaian Arts in Common selama tiga tahun berturut-turut yang diawali dengan seri pertama Common Space di tahun 2019. Hingga bulan Februari 2020, tim ARTJOG sudah melakukan sosialisasi bersama para seniman dengan rencana eksekusi di bulan Juli untuk seri kedua Arts in Common: Time to Wonder. Pandemi Covid-19 yang akhirnya melanda Indonesia sejak bulan Maret pun sempat mendorong munculnya isu pembatalan berbagai event di Yogyakarta. Akan tetapi, tim ARTJOG tidak ingin mundur dan memutuskan untuk menunda seri kedua Arts in Common dengan mengangkat tema baru, yaitu “Resilience” yang berarti daya tahan di tengah situasi sulit. “Melalui tema Resilience, kami ingin menunjukkan bagaimana ARTJOG 2020 bersama para seniman bisa beradaptasi serta memperjuangkan apa yang sudah kami lakukan selama bertahun-tahun agar tetap terlaksana,” kata Gading. Gading menambahkan bahwa resiliensi bukanlah sebuah hal baru bagi para seniman, khususnya di Indonesia. Para seniman sebenarnya sudah beradaptasi untuk tetap berkarya di tengah situasi sulit, terlebih di  Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sudah awam dengan bencana. “Kekuatan utama seniman di DIY adalah modal sosial. Ketika terjadi bencana, biasanya semua terdorong untuk bergotong royong dan bersama-sama beradaptasi,” kata Gading. ARTJOG 2020 bisa tetap terlaksana juga berkat bantuan dan dukungan dari para seniman. Kesulitan yang dihadapi ARTJOG di tengah situasi ini adalah bekerja sama serta menyamakan frekuensi dari berbagai pihak terkait pelaksanaan pameran. Selain itu, Gading mengaku belum menemukan cara terbaik untuk menikmati seni selain dengan menonton secara langsung. Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah pengunjung tahun ini mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meskipun begitu, menurut Gading situasi ini juga memberi kesempatan bagi para seniman untuk berkontemplasi ulang dan berpikir bagaimana agar tetap bisa berkarya. Inovasi karya film dokumenter pun akan diteruskan untuk tahun-tahun berikutnya sebagai salah satu bentuk pengelolaan dokumentasi dan arsip. Peralihan ke sistem digital ini juga mempermudah ticketing serta menjalin relasi dengan berbagai pihak di luar daerah tanpa ongkos yang besar. Jumlah seniman yang terlibat pun dua kali lipat lebih banyak daripada biasanya, yaitu sekitar delapan puluh seniman. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi tidak menjadi batasan untuk berkarya, justru bisa ditingkatkan melalui relasi dan modal sosial yang kuat dengan berbagai pihak. (/Raf)