Gelaran diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh Social Development (SODET) kembali dilaksanakan Jum’at (17/11). Pada diskusi kali ini, tema yang diangkat adalah Pelayanan Sosial dalam Kondisi Darurat. Bertempat di BA 303, diskusi ini menghadirkan 2 pembicara yang berasal dari Yayasan Society for Health, Education, Environment, and Peace (SHEEP) Indonesia. Kedua Pembicara tersebut bernama Yulia Rina Wijaya selaku Wakil Direktur SHEEP, dan Suparlan selaku Kordinator Bidang Kebencanaan. Dengan dimoderatori oleh Sais selaku dosen muda Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, diskusi tersebut berjalan dengan lancar dan interaktif.
Sebelum membuka sesi tanya jawab, kedua pemateri terlebih dahulu memberikan materi pengantar mengenai pelayanan sosial dalam kondisi darurat. Meskipun memiliki tema yang sama, namun keduanya memiliki bahasan yang berbeda. Sebagai pembicara pertama, Rina Wijaya memberikan pengantar mengenai 3 prinsip pelayanan sosial yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Prinsip pelayanan yang pertama adalah korban bencana harus tetap hidup bermartabat dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kedua, korban bencana berhak mendapat bantuan, sehingga tidak boleh ada yang melarang. Ketiga, korban bencana harus mendapat keamanan dan perlindungan terutama dalam bencana yang masif.
Dalam sesi lain, Rina juga menjelaskan tentang panduan penanggulangan bencana. Menurut Rina, semua kelompok yang membantu korban bencana harus mengacu pada Sphere Project sebagai standar dalam mendistribusikan bantuan kemanusiaan. Beberapa standar minimum yang ditetapkan Sphere meliputi water supply sanitation and hygiene promotion,food security and nutrition, shelter, settlement and non-food items, dan health action. Standar yang ditentukan oleh Sphere menyangkut 3 aspek yang disebutkan oleh Rina sebelumnya. “Sphere merupakan panduan lembaga kemanusiaan apapun dalam pelayanan bencana yang telah memperhatikan 3 prinsip” ujarnya.
Selain prinsip dan panduan bencana yang disampaikan Rina, Suparlan sebagai pembicara kedua juga menambahkan materi mengenai pihak-pihak yang terlibat ketika bencana. Menurut Parlan, di jaman sekarang, pihak yang terlibat dalam proses penanggulangan bencana bukan hanya berasal dari pemerintah dan customer service office (CSO), melainkan akademisi dan media. Para akademisi mempunyai peran yang besar dalam menanggulangi bencana terutama pada sektor pengumpulan donasi. Sedangkan media berperan dalam menyebarkan informasi mengenai bencana yang menyebabkan banyak pihak peduli terhadap para korban bencana. Dua pihak tersebutlah yang saat ini cukup membantu para evakuator.
Berkaitan dengan kebencanaan, Suparlan menyampaikan 3 kata kunci kebencanaan yang terdiri dari kerentanan, ancaman, dan kapasitas. Bencana merupakan persolan kerentanan, dan terjadi ketika suatu ancaman bencana melanda komunitas rentan yang tidak memiliki atau berkapasitas rendah dalam mengatasi dampak negatif suatu bencana. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya pencegahan bukan penanggulangan. “Sekarang bukan ke penanggulangan bencana, tetapi mencegah resiko yang bisa terjadi di kemudian hari” tuturnya.
Selain materi, peserta juga dipersilakan untuk bertanya dalam sesi tanya jawab yang dibuka oleh moderator. Banyak peserta yang tertarik untuk bertanya karena materi ini merupakan materi yang menarik dan jarang dibahas dalam diskusi SODET. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah tentang kesulitan dalam proses evakuasi. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Rina sesuai dengan pengalamannya sebagai evakuator.
Rina yang sudah berkecimpung dalam kegiatan sosial selama kurang lebih 17 tahun, menyatakan bahwa salah satu kesulitan yang pernah ia hadapi saat melakukan proses evakuasi bencana adalah mengenai tempat bencana. Area yang jauh dan terisolasi menjadi salah satu kesulitan yang dihadapi Rina. Area ini merupakan area yang sulit sekali didatangi karena akses tempatnya yang tidak mudah dan memerlukan kendaraan tertentu, sehingga membutuhkan usaha dan biaya yang besar untuk menjangkaunya.
Selain area yang terisolasi, daerah yang cukup sulit untuk dievakuasi adalah daerah konflik. Area ini cukup sulit untuk dilaksanakan proses evakuasi karena mendapatkan penjagaan ketat sehingga ia harus selalu cek point, dan memberikan bukti-bukti bahwa dirinya netral. Dalam proses evakuasi, kesulitan-kesulitan yang muncul terkadang menjadi kendala. “Sama saja survivor dapat bencana di tengah bencana,” tuturnya.