Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Social Research Center (Sorec) bersama dengan Youth Studies Center (YouSure), dan ketjilbergerak pada Kamis (2/11) menggelar kegiatan bertajuk “Kenduri Keberagaman Fisipol 2017”. Sebuah talkshow bertajuk “Jogja Istimewa, Bhinneka Tanpa Prasangka: Refleksi dan Agenda Aksi” hadir sebagai salah satu mata acara dari kegiatan ini. Dilangsungkan di Selasar Barat Fisipol UGM, talkshow ini mengundang Dr. Muh. Najib Azca, Dr. Hakimul Ikhwan, Dr. Zainal Abidin Baghir, dan Listia sebagai pembicara. Sebelumnya, kegiatan ini didahului oleh Workshop Kampanye Kreatif Keberagaman yang diisi oleh ketjilbergerak yang juga merupakan bagian dari rangkaian acara.
Adanya kegiatan Jogja Istimewa, Bhinneka Tanpa Prasangka, menurut Dr. Muh. Najb Azca didasari oleh munculnya berbagai kejadian intoleransi yang terjadi di Yogyakarta. Selain itu juga terdapat fakta bahwa Yogyakarta dicatut sebagai daerah nomor dua dengan tingkat intoleransi paling tinggi setelah Jawa Barat berdasar beberapa sumber survei dan data. “Melalui hasil riset kami, hal ini disebabkan oleh, pertama, fenomena terkuncinya proses komunikasi antarkelompok di Yogyakarta. Utamanya antara kelompok yang dapat kita sebut sebagai kelompok Islamis dan kelompok pluralis,” ungkap Najib. Hal ini memicu terputusnya proses komunikasi yang kemudian dapat menimbulkan kekerasan. “Lalu yang kedua, yaitu bersemainya Yogyakarta sebagai inkubator intoleransi,” lanjut Najib.
Keresahan atas dua hal tersebut dijawab oleh Najib dan tim dengan mengadakan berbagai dialog dan workshop antartokoh masyarakat maupun antara tokoh masyarakat dengan pemerintah. “Karena kami percaya bahwa komunikasi akan mencairkan prasangka,” kata Najib. Selain itu, kegiatan juga difokuskan untuk menyasar anak muda melalui pengadaan Youth Camp dan Training Media Sosial. Namun, tidak dipungkiri masih terdapat beberapa kendala dalam proses pembuatan dialog. “Misalnya saja kami masih kesulitan untuk mengajak beberapa pihak dari kelompok ‘garis keras’ untuk berdialog. Sehingga, kami rasa pembentukan dialog memang membutuhkan proses yang panjang,” ungkap Najib.
Hal senada disampaikan oleh Dr. Zainal Abidin Baghir. Oleh Zainal, dikatakan bahwa adanya polarisasi kelompok memicu ketiadaan komunikasi yang rentan memantik beragam prasangka. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa peran negara dalam menjembatani komunikasi sangat penting. “Dari sistemnya sendiri harus ada untuk membuat komunikasi makin intens. Lewat pendidikan atau kurikulum misalnya,” ungkapnya. Demikian, menurut Zainal penting untuk melakukan sinkronisasi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam pembentukan komunikasi antarkelompok.
Sedangkan oleh Listia, dikatakan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Yogyakarta ataupun di Indonesia saja. “Nalar modernis kita membuat kita menepi pada kelompok yang membuat nyaman, biasanya yang memiliki identitas sama,” kata Listia. Lebih lanjut, semakin nyaman seseorang, maka secara tidak sadar akan timbul bermacam prasangka karena komunikasi yang terbatas. “Apalagi pada kelompok yang menekankan bahwa golongannya merupakan yang terbaik,” ungkap Listia. Selain itu, menurutnya konstruksi pemikiran bahwa perbedaan merupakan sesuatu yang kurang ‘nyaman’ dibicarakan merupakan produk Orde Baru, yang kemudian diwariskan hingga saat ini.
Dalam sesinya, Dr. Hakimul Ikhwan menjelaskan mengenai identitas. “Identitas itu beragam dan bisa berubah seiring waktu,” ujar Hakim. Baginya, identitas terbentuk oleh proses panjang yang juga bersifat tidak kaku. Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya untuk mencoba melintasi batas dari identitas diri kita masing-masing. “Mari melintasi batas identitas kita untuk melihat (re: identitas lain) yang ada di ‘seberang’ sana,” kata Hakim. Dalam proses tersebut, ia menyatakan akan terdapat banyak kejutan yang tidak diduga akan menyambut. Hakim juga menekankan untuk memaknai proses komunikasi yang terjadi. “Kita itu mengalami keberagaman dalam kehidupan sehari-hari, namun kurang memaknai keberagaman tersebut,” ungkap Hakim.
Talkshow kemudian dilanjutkan dengan kegiatan Ragam Puspa Seni dan Sumpah Pemuda Milenial yang menampilkan berbagai atraksi budaya. Misalnya saja tarian dari Swagayugama, tarian Senyum Indonesia oleh Pusat Latihan Tari Bagong Kussudtardja, maupun penampilan musik dari Sri Krishna, Umar Haen, dan Mengayun Kayu. Dalam sesi ini juga dibacakan Sumpah Pemuda Milenial dalam tajuk “Ikrar Persatuan Pemuda Milenial” yang disusun oleh peserta workshop dan Focus Group Discussion yang telah dilangsungkan sebelumnya. (/fkm)