Yogyakarta, 29 Agustus 2019—Career Development Center (CDC) Fisipol UGM, kali ini memberikan materi Career Preparation Class mengenai entrepreneurship. Konteks pembahasan dalam diskusi kali ini adalah bagaimana menjadikan “proses” sebagai orientasi usaha, bukan soal ekonomi saja yang menjadi kunci kesuksesan, tetapi juga ideologi.
Menghadirkan Maria Tri Sulistyani atau yang akrab disapa Ria, sebagai Co Artistic Director Papermoon Puppet Theatre, di Ruang BA 211 Fisipol UGM, peserta diajak diskusi mengenai bagaimana tips dan trik mempertahankan usaha selama bertahun tahun.
Inspirasi menjadi seorang seniman wayang boneka muncul ketika Ria tinggal di lingkungan para seniman Yogyakarta. Ia bercerita bahwa menciptakan sesuatu adalah hobinya sejak kecil. Komunitas ini pada awalnya hanya bernama Papermoon saja dan berdiri diawali dengan keinginan Ria belajar wayang dan kemudian membuat pementasan teater untuk anak anak. Inspirasinya datang ketika ia bersinggungan dengan anak anak, kemudian jadilah sebuah komunitas yang menggabungkan seni rupa dan pertunjukan
“Papermoon merupakan komunitas yang menggabungkan seni rupa dan pertunjukan,” tutur Ria. Perjalanan Papermoon dimulai sejak tahun 2006, bersama temannya, Ria mengumpulkan modal dengan berjualan lauk dan menitipkannya ke angkringan. Modal ini digunakan untuk menyewa satu kamar kos dan menjadi rumah produksi Papermoon.
“Modal awal Papermoon hingga seperti sekarang ini hanya dari berjualan sate usus, gorengan, sate kepala ayam dan dititipkan ke beberapa angkringan. Saya ingat betul, kami (Ria dan temannya) harus membayar kamar kos sebesar 70 ribu rupiah per bulan untuk ruang produksi Papermoon,” ujar Ria Perubahan nama Papermoon menjadi Papermoon Puppet Theatre terjadi setelah Ria dan suaminya mantap untuk menjadi seniman wayang boneka, setelah mereka berkesempatan pergi ke Amerika untuk research mengenai wayang boneka.
Memperpanjang usia sebuah karya seni bagi Ria adalah sebuah kewajiban. Telah berdiri selama 13 tahun, tentu banyak lika liku perjalanan yang dilalui. Menjadi seniman teater boneka merupakan tantangan baginya, karena minimnya seniman Indonesia yang bergerak dibidang ini, sehingga Ia merasa minim referensi di Indonesia. Untuk itu, membangun jaringan, membangun ekosistem, merawat tim kerja dengan sebaik baiknya, pandai melihat obstacle, merawat teman, penonton, dan jaringan merupakan kunci utama dalam mempertahankan karya seni.
“Ekosistem dan jaringan menjadi sebuah kunci bertahannya Papermoon Puppet Theatre. Maka, menjaga dan merawatnya adalah tips bertahannya Papermoon Puppet Theatre. Saya meyakini bahwa setiap orang punya hak untuk bahagia, meskipun tidak bersama Papermoon Puppet Theatre, saya selalu memberi ruang bernafas untuk rekan rekan di Papermoon Puppet Theatre agar mereka dapat menikmati ritme yang ada didalamnya,” tutur Ria.
Dengan adanya jaringan yang kuat, maka peluang untuk berkolaborasi dan ruang presentasi karya seni akan semakin luas. “Umur panjang karya seni pertunjukan harus diimbangi dengan usaha keras mencari peluang presentasi karya yang lebih laus,” ucap Ria.
Berdasar pada latar belakang berdirinya Papermoon Puppet Theatre, Ria juga bercerita bagaimana peraduan antara pilihan jalan hidup diri sendiri disandingkan dengan piihan jalan hidup anak oleh orang tua. “Latar belakang orang tua saya adalah Militer, lika liku yang saya lalui dalam memilih dan mempertahankan sebagai seniman sangat rumit dan panjang, karena pilihan saya sulit mendapat restu dari orang tua,” tutur Ria Co Artistic Director Papermoon Puppet Theatre.
Namun, bagi Ria, darah menciptakan dan berseni itu datang darimana saja, tidak bergantung pada siapa dan bagaimana latar belakang keluerganya. Niat dan tekat, serta keberanian untuk menunjukkan keseriusan dan keberhasilan sebuah pilihan adalah cara yang tepat untuk meyakinkan orang tua mengenai pilihan anak. “Berani dan beri bukti tentang pilihan jalan hidupmu akan membawa restu orang tua mengiringimu,” tutur Ria. (/pnm)