“Angkringan itu usaha yang bukan hanya soal face to face dengan pelanggan, ada banyak dinamika di dalamnya,” tutur M. Helmi Rakhman, wirausahawan muda, pendiri Angkring Jogja dalam acara Bincang Soprema (18/4). Berlokasi di Digilib Café, acara yang dihelat oleh YOUSURE FISIPOL UGM ini mengangkat tema ‘Menggali Spirit Kemanusiaan dari Wirausaha Muda Berbasis Pemberdayaan Sosial’.
Sebagai sebuah pilihan kuliner yang ramah di kantong, angkringan di mata Helmi adalah peluang bisnis yang cukup menjanjikan. “Di sini siapa yang belum pernah ke angkringan? Pasti semua yang di sini sudah pernah ke Angkringan,” ucap alumni Teknik Mesin UGM ini. Helmi melihat jangkauan peminat angkringan hingga ke kalangan bawah bisa memberikan jaminan pasar yang tinggi. Apalagi Yogyakarta sebagai kota pelajar yang dihuni oleh mahasiswa dengan isi dompet yang beragam, angkringan tentu bisa menjadi pilihan kuliner diakhir bulan.
Perjalanan bisnis yang Hilmi lalui hingga memiliki 53 gerobak angkringan tidaklah mudah. Ia harus melawan penolakan demi penolakan bahkan dari keluarga terdekatnya. “Ini gerobak di teras buat apa? Kalau enggak dipakai, dijual saja,” kisah Hilmi saat mengenang awal ia merintis usahanya. Padahal untuk membeli gerobak pada masa itu, ia harus menyisihkan uang beasiswanya. Namun tekat ingin hidup mandiri selepas masa studi membuatnya tak patah arah. Ia terus berkomitmen dan berusaha untuk membuat ini berhasil.
Kini dengan 53 gerobak, Angkring Jogja sudah tersebar nyaris disemua Kabupaten di Provinsi DIY. Mulai dari Sleman, Bantul, Kulonprogo, hingga Gunungkidul. Konsep angringan yang dibawa oleh Angkring Jogja sendiri ada tiga; angkringan tradisional, angkringan Kontemporer dan angkringan cafe. Angkringan tradisional sendiri seperti angkringan pada umumnya yang ada dipinggir jalan dan didominasi oleh bapak-bapak. Sedangkan angkringan kontemporer sudah sedikit kekinian dengan dekorasi seperti kafe namun terbuka dipinggir jalan. Untuk angkringan cafe sendiri nyaris sama dengan konsep cafe pada umumnya, hanya saja menu-menu angkringan tetap jadi menu utama. Tak hanya itu, Angkring Jogja juga memiliki berbagai jenis usaha lain selain Angkringan, diantaranya; menerima pembelian gerobak, penyewaan gerobak, franchise, merchandise dan juga menerima berbagai kerjasama, baik event maupun investasi.
Jumlah karyawan Angkring Jogja kini sudah mencapai 54 orang, dengan omset penjualan tidak kurang dari 118 juta dalam sebulan. Jumlah yang cukup tinggi tidak membuat Hilmi kemudian berbangga diri. Ia kemudian mencoba terus berinovasi dan mengajak orang-orang disekitarnya untuk ikut bersama dalam Angkring Jogja. “Salah satu inovasi yang coba kita buat yaitu menu nasi kepal dan nasi kaleng, biar wisatawan yang pulang ke daerah masing-masing bisa membawa makanan khas Angkringan di Jogja,” Ungkap Hilmi. Tak hanya itu, Angkring Jogja juga sedang meluncurkan menu baru yaitu ‘Sego Singo Sambel Paus’.
“Kami juga melakukan pemberdayaan dengan orang-orang disekitar kami, seperti ibu-ibu, anak muda hingga bapak-bapak,” terang Hilmi. Pemberdayaan yang ia maksud adalah mengikutsertakan tiga elemen tadi dalam proses produksi dari Angkring Jogja. Untuk Ibu-Ibu sendiri diajak untuk menjadi pemasok makanan yang akan dijual diangkringan, mulai dari nasi kucing, hingga gorengan. Bapak-bapak diarahkan untuk ikut membantu di Angkringan Tradisional dan penjualan gerobak. Sedangkan anak muda diajak untuk belajar bisnis dan mengurusi Angkringan Kontemporer. “Selagi kita muda, mari kita berusaha, berkarya, dan membahagiakan ayah ibu kita.” Pungkas Hilmi.(/rws)