Beragam Survei Sebut Penolakan dan Keraguan Masyarakat Terhadap Vaksin COVID-19

Yogyakarta, 4 Maret 2021—Institute of Policy Development bekerja sama dengan GAMAPI FISIPOL UGM melaksanakan webinar bertajuk “Progres dan Tantangan Vaksinasi COVID-19 di Indonesia”, pada Kamis (4-03). Webinar menghadirkan tiga pembicara yaitu: dr. R. Yuli Kristyanto, MSc, SpA., dokter RSUD Sleman serta Pengamat Gerakan Anti-Vaksin; Rizki Ardinanta, junior researcher Institute of Policy Development; dan Dr. AG. Suharsono, M.Si., MA., dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Webinar yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting ini dihadiri lebih dari 90 peserta.Rizki memaparkan beragam survei mengenai vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Survei yang dilakukan sebelum pandemi oleh Indikator Politik Indonesia (IDI) mendapati hanya 45 persen penduduk kelompok usia 22—25 tahun yang mau divaksin. Survei yang dilakukan oleh CSIS juga menemukan 63 persen proporsi anak muda di DKI Jakarta dan 55 persen anak muda di Yogyakarta usia 17—22 tahun yang kurang percaya atau tidak percaya pada vaksin. Berbeda dengan survey IDI dan CSIS, survei yang dilakukan oleh WHO bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Nasional dan UNICEF menemukan bahwa 64 persen warga bersedia divaksin. “Ada anomali mengapa anak muda menolak divaksin”, terang Rizki.

Dari hasil survei tersebut, Rizki menemukan ada lima alasan paling tinggi penolakan dan keraguan terhadap vaksin. Alasan tersebut antara lain takut dengan keamanan vaksin, ragu dengan efektivitas vaksin, takut pada efek samping yang ditimbulkan, serta ketidakpercayaan terhadap vaksin yang banyak ditemui pada kalangan anti vaksin. Selain itu hoaks mengenai vaksin haram dan tidak sesuai dengan kaidah agama turut berkontribusi dalam hal ini.

Senada dengan Rizki, Yuli Kristyanto mengakui bahwa meskipun pemerintah sudah melakukan kampanye secara masif, para penolak vaksin COVID-19 masih banyak. Menggunakan riset WHO, Yuli memaparkan ada 58 juta orang pengikut gerakan anti vaksin yang bergerak secara masif di internet. “Angka ini meningkat setiap tahunnya, bahkan satu tahun terakhir jumlah ini meningkat 19 persen”, tutur Yuli.

Menurut Yuli, ada setidaknya tiga konsep yang digaungkan para penolak vaksin. Isu pertama adalah vaksin COVID-19 berbahaya. Menyangkal hal ini, Yuli menuturkan bahwa vaksin COVID-19 tidak berbahaya dan sebenarnya vaksin sendiri sudah lama digunakan. Para penolak vaksin juga menggunakan isu lokal mengenai halal dan haramnya vaksin COVID-19 serta tidak perlu vaksin karena ada alternatif pengobatan yaitu cuci hidung. “Padahal sudah jelas MUI mengatakan bahwa vaksin COVID-19 halal”, jelas Yuli.

Yuli mengungkapkan selain kampanye vaksin yang dilakukan pemerintah, masyarakat juga harus mengkampanyekan vaksin di sosial media. Menurut hasil penelitian lain yang dipaparkan Yuli, para pegiat anti vaksin lebih dekat dengan masyarakat, sedangkan praktisi kesehatan dan pemerintah hanya mampu mencakup sebagian kecil masyarakat saja. Disisi lain Yuli juga tidak segan mengingatkan kembali pentingnya vaksin dalam mengatasi pandemi COVID-19. “Tujuan vaksin ada dua yaitu menciptakan perlindungan bagi individu dan menciptakan perlindungan bagi komunitas”, terangnya.

Dari segi kebijakan, Suharsono menjelaskan ada banyak hal yang mempengaruhi efektivitas vaksinasi di Indonesia. Menurutnya, bukan hanya kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, tetapi juga kondisi lingkungan. Suharsono menyebutkan kondisi lingkungan yang tidak mendukung vaksinasi salah satunya yaitu adanya berita-berita hoaks. “Ini merupakan kondisi sosial dan politik yang menghambat vaksinasi yang ada di Indonesia”, imbuh Suharsono. (/anf)