Benedict Richard O’Gorman Anderson atau yang dikenal dengan Benedict Anderson adalah seorang ilmuwan politik berkebangsaan Irlandia yang lahir di Cina. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang memiliki tradisi Protestan kuat dan kebangsaan yang berbeda, dimana ayahnya merupakan seorang dengan kebangsaan Irlandia dan ibunya merupakan seorang Inggris. Dengan sumber daya kepustakaan milik keluarganya, serta fokus studinya terhadap bahasa pada jenjang sekolah atas, ia memiliki basis bahasa dan sastra yang kuat. Begitulah Naomi Resti membuka diskusi bulanan Institute of International Studies (IIS) UGM yang bertajuk “Benedict Anderson dan Kosmopolitanisme dari Bawah” pada Jum’at (29/7).
“Pak Ben itu bisa dibilang kosmopolitan secara geografis juga temporal,” ujar asisten peneliti IIS ini. Secara geografis, ia seringkali melancong dan bepergian, sehingga ia memiliki banyak pengalaman di berbagai negara. Ia pernah tinggal di Cina, Inggris, Amerika, Indonesia, Thailand, dan beberapa negara lain. Selain itu, Benedict juga merupakan seorang polyglot—seseorang yang menguasai beberapa bahasa sekaligus—yang fasih dalam bahasa Inggris, Latin, Perancis, Vietnam, Jerman, Bahasa Indonesia dan beberapa bahasa lainnya. Sedangkan secara temporal, Benedict lahir di penghujung dunia lama (tahun 1936), dan hal ini membawanya pada pendidikan gaya lama sekaligus gaya baru yang disesuaikan dengan iklim perang dingin, dengan dominasi Amerika dan imperium Inggris yang hampir berakhir.
Salah satu poin yang dibicarakan Naomi adalah bagaimana Benedict selalu menjadi marjinal sekaligus mudah terikat. Berdasarkan pengalaman Ben, selama ia berpindah-pindah, ia merasa terasing dan seringkali dianggap aneh oleh orang lain. Keterasingannya juga dirasakan secara intelektual. Ben selalu dicemooh oleh teman-teman profesornya karena gaya menulisnya yang berbeda dari intelektual lain di Amerika Serikat. Namun hal inilah yang menyebabkan ia sensitif terhadap perbedaan budaya di tiap-tiap daerah. Selain itu, ia juga dapat melakukan komparasi dengan lebih tajam dari keterasingannya, karena dirinya memiliki kesadaran bahwa tiap-tiap daerah berbeda dan unik dengan caranya sendiri-sendiri. Ia selalu menikmati perasaan menjadi marjinal dan terasing ini. Di kemudian hari, ia merasakan bahwa menjadi marjinal dan terasing membuatnya mudah bersolidaritas dengan mereka yang terpinggirkan. Hal ini tercermin ketika ia melakukan kerja lapangan di berbagai negara, dimana Benedict dapat menjalin komunikasi dengan siapa saja yang ia mau. Ini karena ia menganggap semua orang sama saja, yaitu sebagai sama-sama manusia, terlepas dari seseorang tersebut berasal darimana. “Inilah yang dapat dikatakan dengan distancing and attaching”, kata Naomi.
Benedict kemudian menemukan corak kosmopolitan lain dalam diri seorang keturunan Tionghoa yang memiliki nama pena “Tjamboek Berdoeri” melalui buku ciptaannya yang berjudul “Indonesia dalam Api dan Bara”. Setelah melakukan penelitian panjang, ia akhirnya menemukan bahwa sosok dibalik nama tersebut adalah Kwee Thiam Tjing. Melalui bukunya, Benedict menganggap bahwa Kwee merupakan seorang kosmpolitan dari bawah. Kwee, tidak seperti Benedict yang memiliki akses untuk bepergian kesana-kemari, tidak pernah melancong. Bahkan bila dibandingkan keluarganya yang berplesir ke Shanghai atau dataran Cina lainnya, Kwee sama sekali tidak pernah melancong. Akan tetapi, Kwee fasih beberapa bahasa yang saat itu ada di Hindia Belanda, seperti Bahasa Belanda, Hokkian, Mandarin, Melayu, hingga bahasa jalanan yang kasar. Menurut Benedict, Kwee adalah seorang yang patriotik. Ia tidak menyukai penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, namun ia juga tidak menyukai segregasi yang ada dalam keluarganya. Bagi Kwee, identitas seseorang tidak mempengaruhi bagaimana seorang itu bertindak. Sehingga ia memiliki kualitas kosmopolitan bagi Benedict, yaitu penguasaan bahasa dan egaliter terhadap semua orang.
Bahasan menarik yang disampaikan Naomi selanjutnya adalah mengenai perbedaan pemahaman kosmopolitanisme oleh Benedict Anderson dan Immanuel Kant, seorang ilmuwan politik lainnya. Menurut Naomi, pandangan Kant masih terbelenggu oleh adanya kedaulatan negara. Kant menganggap bahwa semua orang berhak atas sumber daya dunia ini, namun penerimaan suatu negara terhadap seseorang dari bangsa lain yang datang bersifat ‘transaksional’ dan berbasis hukum, bukan menerima karena prinsip ‘sesama manusia’. Sedangkan bagi Naomi, kosmopolitanisme versi Benedict jauh lebih advanced, dimana ia memperlakukan dan menerima seseorang karena seseorang tersebut adalah manusia, terlepas dari apapun identitasnya. Benedict juga menghargai pluralitas dalam negara dan menunjukkan keberpihakan pada yang tertindas. “Sehingga Pak Ben itu bisa disebut menghidupi kosmopolitanisme,” kata Naomi. Lebih lanjut dalam kaitannya dengan nasionalisme, menurut Benedict, paham kosmopolitanisme dan nasionalisme bukanlah sesuatu yang bersebrangan, namun sesuatu yang ‘conjoined’.
Setelah Naomi menutup pemaparannya, sesi diskusi dibuka. Beberapa tanggapan, pertanyaan, ataupun refleksi yang menarik muncul dari peserta. Salah satunya adalah dari Diah Kusumaningrum, staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional. “Bagi Ben, perbedaan adalah kecelakaan sejarah. Perbedaaan sejatinya tidak deterministik, karena seseorang bisa memilih identitasnya. Termasuk Ben yang kemudian memilih untuk lebih inklusif daripada eksklusif, berpihak kepada orang-orang kelas kecil yang tertindas meskipun ia bisa memilih hidup yang lebih nyaman,” kata Diah. Diskusi yang berlangsung di ruang IIS Gedung BA lantai 5 ini kemudian ditutup dengan penarikan kesimpulan oleh moderator.