![](https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/18/2021/10/1-816x510.jpg)
Yogyakarta, 6 Oktober 2021─Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP) FISIPOL UGM menggelar program Pojok Buku MKP #1 yang bertajuk “Reformasi Tata Kelola dan Kepegawaian Sektor Publik di Indonesia” pada Rabu (6/10). Buku yang dibahas pada acara ini adalah series dari State of the Art yang berjudul Tinjauan Studi Manajemen dan Kebijakan Publik di Indonesia. Acara berlangsung secara virtual melalui Zoom Meeting dengan menghadirkan narasumber dari dosen DMKP FISIPOL UGM, yakni Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA. dan Dr. Ambar Widaningrum, MA. Serta Dr. Falih Suaedi, M. Si. selaku dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga sebagai pembahas.
Sebagai pengantar, Ambar Widaningrum menyampaikan bahwa public value perlu dimasukkan dalam buku State of the Art karena masyarakat kita semakin beragam dari segi apapun dan mereka menghadapi masalah yang semakin hari semakin kompleks. “Kita juga tahu masalah publik yang dihadapi saat ini sudah tidak teratur lagi bahkan disertai perubahan yang sulit diprediksi, maka kita sering menyebutnya era VUCA (Volatility, Uncertainly, Complexity & Ambiguity) sehingga menuntut pemerintah harus bergerak secara lincah,” ucapnya. Di samping itu, warga negara dipandang cukup mampu untuk terlibat dalam pemecahan masalah secara deliberatif yang memungkinkan mereka terlibat dalam mengembangkan public spirit, sehingga nilai publik (public value) bisa muncul dari keterlibatan aktif dan dialog warga yang inklusif.
Sementara Agus Pramusinto membahas mengenai civil service reform di Indonesia yang mana sumber daya manusia di sektor publik dianggap penting untuk men-deliver kebijakan pembangunan. Kita bisa melihat praktik di negara-negara berhasil seperti Korea dengan income per kapita jauh lebih tinggi dibanding Indonesia, tentu didukung oleh SDM yang kuat. “Kita berharap bahwa SDM di sektor publik memiliki spirit, agility, dan adaptiveness di dalam kerangka melayani publik,” tuturnya. Selanjutnya, dikatakan bahwa kegagalan nilai publik terjadi salah satunya karena mekanisme artikulasi dan agregasi nilai telah rusak. Lingkungan otoritas yang lemah di negara berkembang tidak mempunyai tenaga untuk mengimplementasikan public value, dalam konteks Indonesia yakni tentang korupsi. Meski ada lembaga KPK, nyatanya saat ini tidak ada strategi khusus yang dirumuskan, direncanakan, atau sedang dilaksanakan untuk memberantas korupsi.
Falih Suaedi mengatakan semestinya public value lebih berkembang sangat dinamis tetapi di satu sisi tidak diimbangi dengan akuntabilitas, transparansi, dan ruang partisipasi. “Civil society sudah bagus, berada di era milenial dan era digitalisasi sehingga semua lebih akuntabel, transparan, dan kran partisipasi harus dibuka, tetapi faktanya di negara-negara yang sedang berkembang bahwa institusi yang didirikan untuk memerangi korupsi tetap tidak aktif karena tidak adanya goodwill penguasa,” ungkapnya. (/Wfr)