Anda pecinta film dan buku Indonesia? Bila ya, anda tentu pernah mendengar karya-karya film berjudul ‘Hide and Sleep’, ‘Shelter’, ‘Ritual’, ‘Mencari Hilal’ hingga ‘Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran.’ Yang terakhir baru saja ditampilkan di program A Window on Asian Cinema di Busan International Film Festival, Korea Selatan dan juga masuk dalam nominasi Kim Jiseok Award. Lelaki di balik film-film Indonesia yang berprestasi di kancah internasional tersebut adalah Ismail Basbeth, seorang sutradara yang mulai bersentuhan dengan dunia film sejak 2006 silam.
Dari ranah buku Indonesia, pernahkah Anda mendengar buku ‘Milana’, ‘Radio Galau FM’, ‘Surat Untuk Ruth’ atau ‘Metafora Padma’? Bila ya, anda pasti mengenal dengan baik sosok Bernard Batubara. Dalam karya terakhirnya, ia berkolaborasi dengan Ismail Basbeth mengadopsi film ‘Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran’ menjadi karya tulis berupa novel. Menurut Bara, sapaan akrab dari Bernard, novel Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran merupakan terjemahan luwes dari film dengan judul yang sama.
Sebagai penutup dari rangkaian Talkshow Kampung Sospol ‘Digital Village’, Fisipol UGM menghadirkan Ismail Basbeth dan Bernard Batubara sebagai pembicara istimewa. Keduanya membahas seputar berkarya di era digital dalam ranah film dan kepenulisan. Talkshow yang diselenggarakan pada Jumat (17/11) ini mengambil tempat di Selasar Barat Fisipol UGM.
Bagi Bernard, keberadaan dan kemajuan teknologi informasi digital justru membuka lebih banyak ruang untuk berkarya. “Era digital itu membuka kesempatan yang luar biasa besar. Internet misalnya, bisa menjadi sumber untuk referensi, bahan bacaan, hingga sarana komunikasi dengan penikmat karya,” kata Bernard. Ponsel pintar sebagai salah satu gawai yang dimiliki oleh kebanyakan orang merupakan senjata bagi diri sendiri, terlepas dari fungsinya sebagai alat komunikasi. “Misalnya saja, ponsel ini bisa jadi perpustakaanmu, sarana branding diri, dan lain-lain,” ungkapnya.
Terkait ide dan gagasan karya, Bernard menilai hal tersebut bisa didapatkan dari mana saja. Menurutnya, ide dapat dicari maupun datang sendiri. “Ide itu bisa datang dari hal-hal inspiratif yang terjadi di sekitar kita sehari-hari. Yang dibutuhkan hanyalah kepekaan untuk sadar atas hal-hal tersebut,” ujarnya. Lebih lanjut, salah satu cara meningkatkan kepekaan adalah dengan lebih membuka diri.
Sedangkan bagi Ismail, tantangan berkarya di era digital saat ini adalah keseriusan pelaku karya dalam melawan banyaknya distraksi yang ada. Sutradara ini mengatakan bahwa saat ini terlalu banyak distraksi di sekitar kita yang mengganggu fokus dalam berkarya. Keheningan-keheningan yang seharusnya menjadi lingkungan dalam pembuatan karya bisa terganggu oleh banyak hal. Misalnya saja dengan keberadaan ponsel pintar maupun godaan untuk menelusuri informasi kurang penting di dalamnya. “Kalau pagi, jangan mau bangun-bangun kamu melihat mimpi orang lain, misalnya lewat instastory atau update orang lain. Harus lihat mimpimu sendiri,” ungkap Ismail.
“Kalau serius sebentar saja, pasti karyamu akan diakui,” ujar Ismail. Sutradara yang memulai debut filmnya dengan ‘Hide and Sleep’ pada 2008 ini menambahkan bahwa dibanding meninggalkan jejak digital dalam platform media sosial seperti status ataupun postingan kurang penting, ia memilih untuk meninggalkan jejak berupa karya riil. “Jadi suatu saat saya bisa kembali hadir melalui karya-karya saya, meskipun secara fisik saya tidak ada,” ungkapnya. (/fkm)