Yogyakarta, 31 Agustus 2023—Menjelang pemilu, kehadiran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menjadi sangat signifikan karena ikut menentukan kualitas demokrasi Indonesia. Bagi Bawaslu, kompleksnya Pemilu 2024 nanti bukanlah sebuah hambatan. “Ini adalah proses pendewasaan dalam demokrasi. Itulah pentingnya kehadiran penyelenggara pemilu,” ucap Totok Hariyanto pada Kamis (31/8). Anggota Bawaslu Republik Indonesia ini menghadiri Fisipol Leadership Forum (FLF) untuk membahas peluang dan tantangan Pemilu 2024, termasuk perihal “Kampanye di Kampus”.
“Kami di kampus tidak sekadar mengkritisi pemilu, tetapi juga memberikan masukan,” ujar Koordinator Election Corner, Abdul Gaffar Karim dalam sambutannya. Keberadaan kampus sendiri tengah menjadi sorotan usai Mahkamah Konstitusi merevisi materi Pasal 280 Ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 terkait perizinan kampus menjadi lokasi kampanye peserta pemilu. Merespons hal tersebut, perwakilan Dewan Mahasiswa Fisipol UGM, Raihan Malcolm, mengutarakan tantangan dan peluang yang berpotensi muncul sebagai akibat dari revisi pasal tersebut. “Ajang mengundang bacapres ataupun capres ini adalah ajang untuk mereka mengemukakan visi mereka sehingga para pemuda itu tidak golput dan menyuarakan suara mereka,” sebut Raihan. Pendapatnya ini didasarkan dari temuan Raihan yang menunjukkan bahwa beberapa temannya cenderung apolitis. “Apabila itu [kampanye] tanpa adanya pengawasan langsung dari Bawaslu, itu menurut saya akan terjadi beberapa implikasi. Bisa saja ada pelanggaran kode etik pemilu atau bisa saja politik uang masuk kampus,” lanjut Raihan.
Menanggapi Raihan, Totok Hariyanto mengatakan bahwa Bawaslu akan siap menjalankan apapun undang-undang yang menyangkut tugas dan fungsinya. “Kita mengawasi jangan sampai ada unsur mempengaruhi pemilih dengan memberikan materi, uang, dan lainnya,” jelas Totok. Ia sendiri menerangkan bahwa kampanye di kampus bukanlah hal yang luar biasa. Menurutnya, mahasiswa pada dasarnya sudah bisa memilih dan berhak untuk berkontribusi untuk memajukan bangsanya.
Persoalan kampanye di kampus juga menjadi perhatian Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa NA. Ia menegaskan bahwa perlu aturan yang rinci dan detail terkait dengan bagaimana mekanisme peserta pemilu untuk berkampanye di kampus. “Saya memahami bahwa kampanye yang dilakukan secara bertanggung jawab adalah dialog [dan] tukar gagasan. Sekarang yang ditunggu sebetulnya adalah KPU untuk membuat aturan yang lebih teknis,” jelas Khoirunnisa. Ia menggarisbawahi pentingnya perlakuan yang sama ketika berkampanye di kampus. “Jadi bukan urusan si calon, kampus, dan KPU saja. Tetapi itu perlu diawasi prosesnya,” imbuhnya.
Diskusi ini juga dihadiri oleh dosen Fisipol UMY yang juga mantan Ketua Bawaslu, Bambang Eka. Senada dengan Khoirunnisa, Bambang mengatakan bahwa dibutuhkan regulasi yang sangat ketat. Ia menyinggung adanya krisis pendidikan politik sehingga kampus dapat mengambil alih dengan mengadakan forum ilmiah. Bambang membayangkan bahwa kampanye di kampus yang ideal adalah ketika diskusi mampu bersifat “entertain” sekaligus mendidik. “Ini yang saya bayangkan tentang debat di kampus, tentang diskusi, dan kampanye di kampus. Tidak ada bendera, semua orang bicara setara dan betul-betul bicara secara ilmiah,” jelas Bambang. (/gmb)