Bincang Kebijakan #DiskusiFisipolUGM: Urgensi Kebijakan Komunikasi Menuju The New Normal

Yogyakarta, 11 Juni 2020—Dalam rangka menyongsong adaptasi kebiasaan baru atau yang diistilahkan sebagai the new normal, berbagai jajaran stakeholders rupanya tengah menggencangkan urgensi komunikasi kebijakan agar konsep dasar the new normal tidak disalahartikan oleh masyarakat luas. Melalui diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, beberapa narasumber seperti Prof. Widodo Muktiyo selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo selaku perwakilan dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Drg. Pembayun Setyaning Astuti, M.Kes., selaku Kepala Dinas Kesehatan DIY, dan Drs. Tavip Agus Rayanto, M.SI., selaku Kepala Dishub DIY telah menyampaikan beberapa catatan penting terkait spektrum kebijakan PSBB dan urgensi kebijakan komunikasi dalam rangka memasuki adaptasi kebiasaan baru (the new normal).

Selaku representator dari pihak pusat, Prof. Widodo Muktiyo menyampaikan bahwasanya memang kebijakan komunikasi merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk memastikan adanya konsistensi dan jalinan koordinasi antara pusat dan daerah. Pasalnya, komunikasi di masa krisis ini merupakan suatu hal yang bersifat sangat dinamis, maka dari itu pemerintah juga diharuskan untuk juga sigap dalam membuat kebijakan komunikasi secara dinamis. Ditambahkan pula, dalam hal ini pemerintah juga selalu mengupayakan adanya penguatan legitimasi komunikasi publik dengan turut mengikutsertakan beberapa tokoh yang dianggap dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan komunikasi pemerintah. Terlebih lagi, tantangan dalam mentransimisikan kebijakan komunikasi juga menjadi poin penting dalam adanya transisi menuju adaptasi kebiasaan baru (the new normal).

Pada dasarnya, meskipun akan segera dilakukan transisi menuju adaptasi kebiasaan baru, penekanan komunikasi publik utamanya tetap akan menggarisbawahi pada aspek tujuan utama dalam melawan covid-19, yakni untuk melakukan shifting dalam perilaku (behavioral change) secara komprehensif dengan tetap melakukan physical distancing dan tetap menjalankan protokol kesehatan lainnya. Kepada audiens Diskusi Fisipol UGM juga, Prof. Widodo Muktiyo menyampaikan dua poin penting bahwasanya penerapan adaptasi kebiasaan baru ini telah dipertimbangkan dengan mengacu pada aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Pada aspek kesehatan, pemerintah merujuk pada data epidemiologi, surveillance, kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan. Sementara itu, dari aspek ekonomi, beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah aspek ketenagakerjaan, proporsi produk domestik regional bruto sektoral dan indeks keterkaitan sektor.

Apa yang perlu digarisbawahi lagi ialah bahwasanya pemerintah dalam hal melakukan diseminasi komunikasi publik juga melibatkan beberapa mitra kerja seperti media massa, masyarakat, akademisi, dan dunia usaha. Tak hanya itu, pemerintah juga memanfaatkan kehadiran TIK dalam penanganan covid-19 yang diterapkan ke dalam sejumlah platform seperti misalnya perkembangan aplikasi Peduli Lindungi, perkembangan website covid19.go.id, integrasi sistem data gugus tugas, chatbot whatsapp covid.19.go.id, penyediaan call center 112,117, dan 119, melakukan monitoring dan penanganan hoaks, monitoring media digital atau sosial, diseminasi informasi, penyediaan internet khusus, memfasilitasi dengan memberikan dukungan telko untuk WFH, dan melakukan siberkreasi online dan start up digital.

Sejak diwacanakannya kondisi untuk berdamai dengan virus korona, masyarakat sempat dihadapkan dengan kondisi kontroversialnya kebijakan tersebut yang banyak menyoroti bahwasanya hal ini merupakan suatu upaya pemerintah untuk menerapkan herd immunity. Prof. Wahyudi Kumorotomo selaku perwakilan dari Departemen MKP Fisipol UGM menyoroti bahwasanya terdapat pertarungan paradigma yang terjadi diantara masyarakat terkait konsep social distancing dan herd immunity. Yang memprihatinkan lagi ialah bahwasanya konsep new normal yang tengah diwacanakan oleh pemerintah juga terkadang masih sering disalahartikan. Faktanya, gagasan new normal mengindikasikan bahwa masyarakat diajak untuk dapat berdamai dengan virus dengan catatan tetap berpedoman pada anjuran protokol kesehatan yang sudah diinstruksikan oleh pemerintah. Pengabaian protokol kesehatan cukup menjadi tantangan bagi pemerintah untuk terus mengevaluasi jalannya sosialisasi kebijakan komunikasi terkait adaptasi kebiasaan baru.

Secara keseluruhan, urgensi model kebijakan komunikasi dalam rangka memasuki adaptasi kebiasaan baru akan sepenuhnya tetap menghadapi tantangan dalam mendisiplinkan masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Kompromi dilakukannya konsep the new normal masih akan dilakukan pula secara bertahap. Menutup diskusi ini, pihak pusat yang diwakili oleh Prof. Widodo Muktiyo juga menegaskan kembali bahwa pemerintah akan berupaya maksimal dalam terus melakukan sosialisasi komunikasi terkait adaptasi kebiasaan baru. Pendekatan berbasis komunitas akan serentak dijalankan dengan menggandeng RT RW sebagai unit terkecil yang dipercaya dapat menyalurkan jalannya komunikasi publik terkait adaptasi kebiasaan baru yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal. Mekanisme jalannya komunikasi publik juga dilakukan pemerintah dengan menetapkan do and don’t, panduan ini digunakan sebagai upaya untuk menyamaratakan transmisi komunikasi antar para pejabat pusat utamanya dalam menjawab kebutuhan informasi dari masyarakat, sehingga miss komunikasi dapat diminalisir dalam menyongsong era adaptasi kebiasaan baru. (/Adn)