Dalam rangka 20 tahun reformasi, MAP Corner-Klub menyelenggarakan diskusi publik berjudul “Birokrasi, Bisnis, dan Kartel Politik” di lobi Magister Administrasi Publik, Fisipol, UGM pada Selasa (27/3). Tema ini diangkat berdasarkan keadaan dimana birokrasi yang ada saat ini masih jauh dari harapan. Praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) masih mewarnai perjalanan birokrasi di negeri ini. Seperti kasus yang menjerat Handang Soekarno, mantan penyidik pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Pajak tahun lalu. Ia terbukti menerima suap 1,9 miliar rupiah dari Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) Ramapanicker Rajamohanan Nair. Suap yang dilakukan Ramapanicker ini karena ingin Handang mempercepat penyelesaian masalah pajak yang dihadapi PT EKP.
Reformasi birokrasi yang dilakukan setelah tumbangnya orde baru bertujuan mengembalikan peran birokrat sebagai pelayan masyarakat. Namun, rasa inferior birokrat terhadap para politisi dan pebisnis dinilai menjadi salah satu penyebab praktik KKN. Padahal, menurut Mutia Rizal, aktivis Birokrat Menulis, pemateri pertama dalam diskusi ini, kekuatan dari para birokrat dan teknokrat seharusnya bisa menjadi penyeimbang kekuatan politisi yang berkolaborasi dengan pebisnis.
Rizal mengulas lebih lanjut rasa inferior yang menerpa kalangan birokrat. Ia menyinggung soal aturan netralitas Aparatus Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada serentak. Aturan itu, menurut Rizal, sebetulnya memang punya niat baik. Perpecahan di kalangan masyarakat yang mengemuka akhir-akhir ini membuat ASN diatur agar netral. “Artinya tidak memihak ke salah satu calon. Sampai-sampai di media sosial, menyukai kampanye seorang calon pun tidak boleh,” kata Rizal. Namun, sebetulnya ini juga malah membuat birokrat merasa inferior terhadap para politisi. Pejabat yang terpilih akan menganggap para birokrat tidak mempunyai kekuatan yang sama dengan mereka. Pejabat tersebut inginnya para birokrat mengikuti saja kebijakan yang akan ia terapkan. “Birokrat mau tidak mau harus mengikuti,” imbuh Rizal.
Namun, bukan hal yang mustahil bagi para birokrat menyusun kekuatan untuk melawan politisi dan pebisnis. Rizal bercerita, para birokrat di Kota Tegal berani melawan kebijakan wali kota Tegal Siti Mastiha Soeparno yang dianggap tidak menjalankan pemerintahan dengan baik. Selain itu, pengusaha bernama Amir Mirza Hutagalung kerap mengintervensi kebijakan di kota tersebut. “Para birokrat melawannya dengan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia). Padahal, Korpri menjadi alat politik pada masa orde baru,” ujar Rizal. Perlawanan para birokrat ini sempat mendapatkan perlawanan balik dari sang wali kota. Siti menerbitkan Surat Keterangan (SK) non-job dan pembebasan jabatan kepada 15 PNS eselon II dan III. Akhir cerita, jabatan para PNS itu dikembalikan setelah Siti Masitha ditangkap KPK.
Solidnya persatuan para birokrat di Kota Tegal ini menjadi bukti bahwa gerakan birokrat bisa menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Kekuatan tersebut semakin kokoh karena solidaritas birokrat di Kota Tegal didukung oleh para tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan media. “Bayangkan kalau hampir semua kota bisa melakukan itu. Lapis kedua ini, birokrat dan teknokrat bisa menjadi kekuatan yang penting. Walaupun, di level pusat, kita tahu sulit ya. Di Tegal itu sudah sampai melapor ke Mendagri, Mabes Polri. Tapi mental semua,” kata Rizal.
“Birokrasi adalah salah satu kekuatan kelas menengah,” Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, pembicara kedua, memperkuat argumen Rizal. Guru besar Fisipol UGM ini membandingkan Indonesia dengan India terkait dengan kelas menengah. “Di India kekurangan kelas menengah, sehingga sangat susah untuk bergerak,” kata Kumrotomo.
Kumorotomo menambahkan suatu kasus yang menunjukkan kelemahan birokrat terhadap politisi. “Pada saat bupati memenangkan Pilkada, yang paling pusing biasanya adalah kepala dinas PU (Pekerjaan Umum). Kenapa? Karena kepala dinas PU itu yang kemungkinan paling besar digeser jika bukan bagian tim suksesnya bupati,” ujar Kumorotomo.
Kumrotomo menjelaskan, salah satu kekuatan dari para birokrat, mereka bisa menyabotase kebijakan dari politisi. Sehingga, sebetulnya para birokrat punya misi yang luar biasa penting. Selain sebagai pelayan masyarakat, mereka menjadi pengoreksi awal dari kebijakan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, kekuatan tersebut tidak efektif apabila para birokrat tidak menyadarinya. Sehingga, kata Rizal, gerakan literasi untuk para birokrat menjadi amat penting. Gerakan literasi bukan hanya sekadar baca-tulis. Literasi adalah gerakan penyadaran bahwa para birokrat punya peran dan peluang untuk melakukan perbaikan dalam pelayanan publik. “Setelah sadar, baru kita bisa membangun kekuatan untuk menyeimbangi kekuatan elit. Kalau tidak sadar, ya birokrat hanya menjadi klien (kelompok yang inferior) saja,” jelas Rizal. Selain itu, Rizal juga menghimbau agar para birokrat tidak cukup puas dengan jabatannya. “Birokrat harus punya kegelisahan. Jangan sedikit-sedikit puas,” tambahnya.
Sebagai penutup, Kumrotomo mengutarakan bahwa praktik dalam paradigma birokrasi lebih penting daripada teori. “Birokrasi di Cina tertutup. Orang tidak bisa sembarangan menyampaikan kritik terhadap pejabat. Tapi ketika ada komplain dan terbukti benar, maka pejabat langsung ditindak.” Kumrotomo membandingkan kondisi tersebut dengan Indonesia yang sangat terbuka. Tiap saat muncul kritik. Tetapi di satu sisi, ada rentang waktu yang panjang dari penyelidikan kebenaran hingga kritik tersebut di proses. (/dim)