Salah satu dampak dari adanya revolusi teknologi adalah perubahan-perubahan pola kerja di dalam masyarakat. Banyak media yang meramalkan bahwa kehadiran teknologi akan menggeser beberapa pekerjaan dan memunculkan variasi pekerjaan baru. Namun, pergeseran ini tidak lantas merubah masalah-masalah yang terjadi di dalam dunia kerja, seperti upah rendah, kekerasan seksual di tempat kerja, dan hak-hak yang tidak terpenuhi.
Melalui acara Bincang Muda yang bertajuk “Overworked and Underpaid: Telaah Kritis Hak-Hak Dasar Pekerja Muda” Youth Studies Center (Yousure) Fisipol UGM mencoba membedah persoalan tersebut. Diskusi yang dilaksanakan pada 30 Oktober lalu ini menghadirkan Bayu dari Persaudaraan Pekerja Anarko-Sindikalis (PPAS) dan Andreas Budi (AB) Widyanta selaku dosen Sosiologi UGM.
Tentang PPAS
PPAS adalah sebuah organ sindikalis yang terbentuk pada tahun 2016 akibat agitasi dan kerja-kerja pengorganisiran ASF-IWA (International Workers Association). PPAS sendiri terbangun dari dua kata dasar yaitu Anarkis dan Sindikalisme. Anarkis adalah kondisi sosial ideal dari masyarakat yang terbentuk tanpa adanya paksaan dimana laki-laki dan perempuan itu setara dengan kondisi bebas, damai, dan harmoni. Sedangkan sindikalis adalah organisasi yang digunakan untuk serikat buruh. Secara singkat anarko-sindikalisme adalah teori-teori anarkis yang diaplikasikan di dalam sistem pekerja. Untuk saat ini, PPAS berafiliasi dengan K.U.M.A.N (organ sindikalis yang fokus pada advokasi driver online) dan PPAS Surabaya.
Dalam pemaparannya, Bayu membeberkan bahwa PPAS baru-baru ini berhasil mendampingi para ojek online untuk memperoleh haknya. Tuntutan yang dicanangkan oleh para ojek online adalah persoalan tarif dasar yang sering dipermainkan pihak perusahaan. Hal tersebut tentu sering merugikan pihak pelaku ojek online. Atas dasar sinergi usaha bersama, Bayu mengungkapkan bahwa hasil dari tuntutan tersebut adalah keluarnya peraturan daerah yang mengatur tarif dasar ojek online. “Ini kita nggak nge-klaim ini kemenangan kita, tapi kita waktu kita bekerja karena perut aja karena kita tahu orang-orang driver online itu punya keluarga dan butuh makan. Nggak ada pikiran politis kemana-mana. Jadi ada tarif dasar yang tidak bisa dimainin perusahaan,” tambahnya.
Di sisi yang lain, AB memaparkan persoalan buruh rumahan yang semakin marak diaplikasikan oleh perusahaan di Indonesia. “Buruh rumahan itu buruh yang bekerja di dalam rumah, di luar dimana pemberi kerja itu memberikan kontraknya kepada yang diberi kerja. Jadi pasti tidak di pabrik, kadang di rumah dari pekerja atau juga dilakukan di tempat kelompok dimana dia misalnya punya kelompok yang dipasrahi untuk merampungkan pekerjaan,” paparnya. Fenomena buruh rumahan memang sangat khas terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh budaya kekeluargaan yang cukup melekat di masyarakat Indonesia.
AB menjelaskan bahwa relasi kedekatan antara pemberi kerja dan yang diberi kerja itu sendiri menunjukkan tingkat sosio-kultural-ekonomi yang sesungguhnya ruwet jika dibahasakan secara legal dengan persoalan hak. “Seperti yang saya wawancarai, ibu kalau sakit ada suratnya nggak, nggak kalau saya sakit ya ditengok ke rumah atau kadang-kadang kalau kami punya hajatan si ibu pemilik pekerjaan ya juga ke rumah, nyumbang,” jelas AB. Relasi-relasi inilah yang tidak terjelaskan dalam bangunan sektor perburuhan, dimana proses kerja telah memasuki wilayah yang informan. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem perburuhan di Eropa melalui sistem manufakturnya mampu menciptakan tembok pembatas dan limitasi relasi yang sangat jelas. Kedekatan secara informan inilah yang menurut AB akan mengikis hak-hak pekerja, seperti tidak adanya jaminan kesehatan dan upah rendah. (/ran)