Ditulis oleh Fadri Mustofa
Alumni Fisipol UGM
Pascalibur lebaran tahun ini, urbanisasi menjadi persoalan yang harus diselesaikan. Data Price Waterhouse Cooper pada 2014 menyatakan tingkat populasi urbanisasi Indonesia sebesar 51,4 persen atau tertinggi kedua setelah Malaysia dengan angka sebesar 73,4 persen. Sedangkan negara anggota ASEAN lainnya seperti Vietnam hanya 31,7 persen , Thailand hanya 34,5 persen dan Filipina 49,1 persen.
Bahwa urbanisasi berdampak negatif bagi kota maupun desa tidak bisa dipungkiri. Peningkatan jumlah penduduk di kota menjadi salah satu dampak negatif bagi kota. Pada 1980, sekitar 78 persen penduduk Indonesia bermukim di daeah pedesaan. Namun, saat ini kondisinya berubah.
Meski jumlag penduduk desa nyaris tak berubah, hanya berfluktuasi di angka 120 juta jiwa. Tapi , jumlag penduduk kota meningkat empat kali lipat. Yakni dari 32,76 juta (tahun 1980 ) menjadi 123,12 juta jiwa (tahun 2013).
Dan tahun ini jumlah penduduk desa dan kota diperkirakan seimbang. Pada tahun 2025 , diprediksi 65 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Bahkan pada tahun 2045 , 85 persen penduduk Indonesia diprediksi berpindah di daerah perkotaan.
Hal itu tentu menimbulkan masalah baru. Dengan daya tampung sedikit, kota tak mampu menampung banyaknya jumlah penduduk. Alhasil banyak bangunan berdiri di pinggir sungai sehingga sungai pun tercemar oleh limbah rumah tangga.
Di sisi lain, berkurangnya jumlah tenaga kerja menjadi masalah yang mesti dihadapi desa. Permasalahan itu ternyata juga berdampak pada penurunan tingkat produktivitas pertanian. Sebab , sebagian penduduk desa memilih bekerja di luar daerah sehingga lahan pertanianpun terbengkalai.
Memang, tanpa bisa dipungkiri urbanisasi juga berdampak positif bagi kota maupun desa. Contohnya , terpenuhinya jumlah permintaan tenaga kerja (kota) dan berkurangnya jumlah pengangguran (desa).
Meskipun demikian , sudah sepantasnya mencoba menekan dampak negatif urbanisasi . Peningkatan jumlah penduduk di daerah perkotaan justru akan menimbulkan maslaah yang lebih kompleks.
Berapa banyak nantinya ongkos yang dihabiskan untuk mengatasi pencemaran lingkungan , kemacetan lalu lintas, polusi udara. Di sisi lain , jumlah penduduk di daerah pedesaan semakin menipis. Sementara kebutuhan pangan setiap tahun semakin meningkat.
Maka, keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) diharapkan mampu mengatasi urbanisasi. Undang-undang No.6 tahun 2014 tentang Desa disahkan pemerintah, desa memiliki dana cukup banyak.
Data Kementrian Keuangan April 2015 menyatakan setiap desa rata-rata menerima dana sebesar Rp 750 juta yang meliputi Dana Desa (DD) dari pemerintah pusat dan Alokasi Dana Desa (ADD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
Penulis akui mengurangi urbanisasi melalui BUM Desa tidak mudah dijalankan. Untuk itu, mengenali potensi dan kebutuhan di desa yang memiliki keunggulan dan peluang pasar sebagai ide bisnis, mutlak dilakukan pada tahap pertama. Lalu, memastikan ide tersebut ditinjau dari pelbagai aspek , yaitu pasar, sumber daya manusia (SDM) , teknologi keuangan , sosial, budaya dan hukum. Misalnya, dari aspek SDM telah tersedia SDM yang mampu mengelola ide bisnis itu.
Selanjutnya, penyusunan rencana bisnis mutlak dilakukan. Rencana bisnis itu memuat selukbeluk usaha BUM Desa, analisis persaingan, pasar dan rencana pemasaran, rencana operasional, rencana pengelolaan sumber daya manusia dan perkiraan keuangan yang ingin dicapai di masa mendatang.
Dan yang terpenting, BUM Desa harus melibatkan partisipasi masyarakat desa. Semakin banyak penduduk desa yang terlibat, maka jumlah tenaga kerja yang terserap makin banyak. Dengan kata lain, makin banyak penduduk desa yang terlibat BUM Desa, makin sedikit jumlah penduduk desa yang bekerja ke luar daerah. (dilansir dari kolom opini Tribun Jogja, Rabu 22/7, halaman 13)