Buku “Flawed Democracy in the Rent Seekers’ Hands” karya Desi Rahmawati menjadi topik Academic Roundtable Discussion yang diadakan Research Centre for Politics and Government (PolGov) dan Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), Selasa (31/10). Aktif sebagai peneliti senior di PolGov Fisipol UGM, Desi berhasil mengubah tesis S2-nya menjadi buku yang menceritakan bagaimana masyarakat di Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, hidup dalam pemerintahan yang demokrasinya cacat, dipenuhi dengan praktik despotisme oleh pemerintah. Di level akar rumput, blackmail activism lumrah dilakukan oleh para aktivis. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kekayaan dan status sosial. Selama kurang lebih dua jam dan bertempat di lantai 2 Gedung Perpustakaan UGM, acara ini tidak hanya diisi oleh pemaparan penemuan penelitian Desi, tetapi juga kritik dari Willy Purna Samadhi. Pria yang akrab dipanggil Koh Willy ini bertindak sebagai pembedah buku. Audiens pun secara aktif terlibat dalam diskusi.
Terdapat satu pertanyaan yang menjadi dasar penulisan buku ini yaitu bagaimana demokrasi menjadi sarana mendapatkan rente untuk kepentingan ekonomi di daerah-daerah Indonesia? Kabupaten Asahan yang jaraknya enam jam dari Medan dipilih oleh Desi sebagai objek penelitiannya. “Semuanya berawal dari kegelisahan saya tentang Asahan. Banyak cerita mengenai bupati dan birokrat yang korup, tetapi aktivis di sana juga sangat terlibat,” ungkap Desi mengenai motivasi awalnya.
Sebenarnya, bagi Desi cerita-cerita tentang korupsi sudah membosankan, tetapi ada lima kasus yang membuktikan terdapat pola yang berulang. Misalnya, pembatasan akses informasi untuk publik, aktivis, maupun peneliti yang dilakukan pemerintah. Alasannya adalah ketakutan pemerintah kabupaten bahwa informasi-informasi tersebut akan dijadikan alat bagi aktivis untuk memeras pemerintah dengan ancaman pelaporan ke lembaga penegak hukum terkait seperti KPK. Selain itu, kasus pemberian akses layanan publik seperti pinjaman kredit diberikan pemerintah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan (imtaq) sang pemohon terhadap Islam. Anehnya, keadaan imtaq ini ditentukan oleh panitia berisi tujuh orang. Kasus lain yang menggambarkan keadaan di Asahan adalah pasar tradisional yang diduga dibakar, lalu pemerintah terbukti menjual kios secara ilegal. “Jadi birokrat di sana harus kreatif, harus bisa memenuhi target buat pemerintah,” kata Desi untuk meringkas contoh-contohnya.
Contoh-contoh yang diberikan Desi membuktikan bahwa sistem demokrasi di Asahan tidak berjalan dengan baik meskipun terdapat pemilihan umum sekaligus keberadaan aktivisme masyarakat akar rumput. Demokrasi lebih dikuasai oleh birokrat dan pemerintah kabupaten, sedangkan orang lain mulai dari masyarakat biasa hingga aktivis berusaha untuk mendapatkan keuntungan dalam bentuk uang ataupun kapital ekonomi dengan cara suap atau mengkritiskan diri sehingga dapat melakukan blackmail terhadap pemerintah.
Dengan menggunakan pemikiran Pierre Bourdieu, Desi berusaha untuk memetakan bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam berbagai praktik non-demokratis tersebut dengan mengidentifikasi habitus, yaitu praktik yang sudah biasa dilakukan di suatu komunitas politik, kapital sebagai sesuatu yang dikejar oleh para aktor seperti posisi dan kekayaan, serta field atau arena, yaitu ruang di mana aktor dapat mendapatkan kapital yang dikejarnya. Misalnya melalui birokrasi. Dengan demikian, Desi mengambil pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan actor-based, dibandingkan dengan ilmuwan seperti Vedi Hadiz yang lebih mengutamakan pendekatan struktural.
Willy selaku pembedah buku mengapresiasi karya Desi. “Meskipun membaca buku ini cukup sulit karena juga ditulis dalam bahasa Inggris, secara akademis buku Mbak Desi merupakan intellectual exercise yang perspektifnya unik.” Baginya, Desi berhasil menguak apa yang tidak terlihat dipermukaan dengan meminjam perspektif Bourdieu, dan mengharapkannya menjadi perspektif yang sangat berguna untuk memperbaiki keadaan-keadaan serupa.
Namun, terdapat beberapa catatan yang dibuat oleh Willy. Yang pertama, tidak tersedia bayangan mengenai demokrasi yang ideal sebagai pembanding dengan keadaan yang ada di Asahan. “Apa bayangan demokrasi yang ada di pikiran penulis? Sayangnya, Mbak Desi langsung loncat ke penjelasan keadaan di Asahan,” tutur Willy. Ia juga mengungkapkan keraguannya mengenai praktik non-demokratis di Asahan yang mungkin saja merupakan bentuk kontrol masyarakat terhadap pemerintah. Ia juga mengungkapkan bahwa terdapat kemungkinan bahwa bagi masyarakat Asahan, sistem tersebut tidaklah “cacat” seperti dituliskan oleh Desi. Terakhir, Willy juga mempertanyakan bagaimana cara masyarakat Asahan keluar dari keadaan yang tidak demokratis tersebut.
Diskusi dengan audiens menambah warna dalam tukar pendapat yang dilakukan. Beberapa topik menarik yang diangkat antara lain adalah skeptisisme mengenai peran individual dalam politik rent-seeking, validitas pendekatan strukturalis dan hubungannya dengan populisme, serta peran bahasa dalam memengaruhi struktur dan relasi kekuasaan. Acara diskusi menjadi agenda penutup sebelum kemudian ditutup pada pukul 16.00 WIB. (/KOP)