Arsip:

Berita

ARTJOG 2020 Buktikan Pandemi Tak Halangi Eksistensi Pameran Seni

Yogyakarta, 10 Oktober 2020—ARTJOG, pameran seni tahunan di Yogyakarta semenjak 2008, berusaha untuk tetap eksis di tengah pandemi Covid-19. Bersama para seniman, ARTJOG 2020 memanfaatkan momen pandemi untuk menciptakan konsep karya-karya baru yang bisa dinikmati di tengah keterbatasan, yaitu melalui pameran dan film dokumenter. Topik ini dibahas dalam Digital Future Discussion (Difussion) #35 oleh Center for Digital Society (CfDS) UGM bersama Gading Narendra Paksi, Program Manajer ARTJOG 2020 (09/10). Dalam diskusi tersebut, Gading menceritakan bagaimana perjalanan ARTJOG di tengah pandemi ini. ARTJOG 2020 digelar mulai tanggal 8 Agustus hingga 10 Oktober. Apabila biasanya ARTJOG menggunakan tiga gedung di Jogja National Museum (JNM), tahun ini ARTJOG hanya menggunakan satu gedung untuk pameran. Pameran dibuka selama tiga sesi dengan batasan 60 pengunjung setiap sesinya, yaitu pada pukul 10.00 – 12.00, 13.00 – 15.00, dan 16.00 – 18.00. Karya-karya yang ditampilkan pun lebih menonjolkan aspek dua dimensi serta tidak melibatkan interaksi dengan pengunjung. Selain itu, ARTJOG 2020 juga bekerja sama dengan Kurnia Yudha dan tim dokumenternya untuk membuat film berjudul Expanded ARTJOG. Film ini menggambarkan tentang bagaimana persiapan dan pelaksanaan ARTJOG 2020 di tengah keterbatasan pandemi Covid-19. Pengunjung bisa mengakses film Expanded ARTJOG di resilience.artjog.co.id dengan membayar sebesar lima belas ribu rupiah. ARTJOG juga mengadakan program Artcare, yaitu mengajak para seniman untuk membuat karya-karya yang kemudian disatukan dalam sebuah box set. Karya tersebut nantinya akan dijual dan hasil penjualannya disumbangkan kepada masyarakat yang terdampak Covid. Program-program pameran, film, dan Artcare merupakan salah satu wujud penyesuaian ARTJOG di tengah pandemi. Mulanya, ARTJOG berencana untuk membuat rangkaian Arts in Common selama tiga tahun berturut-turut yang diawali dengan seri pertama Common Space di tahun 2019. Hingga bulan Februari 2020, tim ARTJOG sudah melakukan sosialisasi bersama para seniman dengan rencana eksekusi di bulan Juli untuk seri kedua Arts in Common: Time to Wonder. Pandemi Covid-19 yang akhirnya melanda Indonesia sejak bulan Maret pun sempat mendorong munculnya isu pembatalan berbagai event di Yogyakarta. Akan tetapi, tim ARTJOG tidak ingin mundur dan memutuskan untuk menunda seri kedua Arts in Common dengan mengangkat tema baru, yaitu “Resilience” yang berarti daya tahan di tengah situasi sulit. “Melalui tema Resilience, kami ingin menunjukkan bagaimana ARTJOG 2020 bersama para seniman bisa beradaptasi serta memperjuangkan apa yang sudah kami lakukan selama bertahun-tahun agar tetap terlaksana,” kata Gading. Gading menambahkan bahwa resiliensi bukanlah sebuah hal baru bagi para seniman, khususnya di Indonesia. Para seniman sebenarnya sudah beradaptasi untuk tetap berkarya di tengah situasi sulit, terlebih di  Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sudah awam dengan bencana. “Kekuatan utama seniman di DIY adalah modal sosial. Ketika terjadi bencana, biasanya semua terdorong untuk bergotong royong dan bersama-sama beradaptasi,” kata Gading. ARTJOG 2020 bisa tetap terlaksana juga berkat bantuan dan dukungan dari para seniman. Kesulitan yang dihadapi ARTJOG di tengah situasi ini adalah bekerja sama serta menyamakan frekuensi dari berbagai pihak terkait pelaksanaan pameran. Selain itu, Gading mengaku belum menemukan cara terbaik untuk menikmati seni selain dengan menonton secara langsung. Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah pengunjung tahun ini mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meskipun begitu, menurut Gading situasi ini juga memberi kesempatan bagi para seniman untuk berkontemplasi ulang dan berpikir bagaimana agar tetap bisa berkarya. Inovasi karya film dokumenter pun akan diteruskan untuk tahun-tahun berikutnya sebagai salah satu bentuk pengelolaan dokumentasi dan arsip. Peralihan ke sistem digital ini juga mempermudah ticketing serta menjalin relasi dengan berbagai pihak di luar daerah tanpa ongkos yang besar. Jumlah seniman yang terlibat pun dua kali lipat lebih banyak daripada biasanya, yaitu sekitar delapan puluh seniman. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi tidak menjadi batasan untuk berkarya, justru bisa ditingkatkan melalui relasi dan modal sosial yang kuat dengan berbagai pihak. (/Raf)

OH Visitasi Edisi Online: Kisah Sherry Menjadi Relawan COVID-19 di Wisma Atlet

Yogyakarta, 9 Oktober 2020—Organization of Humanity Fisipol UGM kembali hadir dengan program OH Visitasi Edisi Online pada Jumat malam (9/10). Visitasi Online via Google Meet ini mengangkat topik “Kisah Relawan COVID-19: Berjuang Atas Dasar Kemanusiaan”. Sherry Anastasya (Ilmu Gizi FKM UI 2017), relawan Covid-19 di Wisma Atlet, berkesempatan menjadi narasumber pada kali ini. Acara berlangsung pada pukul 19.00-20.30 dan dimoderatori oleh Felice, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2019. Sebagai pengantar, Sherry berbagi cerita mengenai pengalamannya menjadi relawan di Wisma Atlet selama dua bulan, yaitu pada Juni dan Agustus akhir. Ia mengaku alasan menjadi relawan Covid-19 karena pada saat itu ada kesempatan pendaftaran dan dengan latar belakangnya yang kuliah di bidang kesehatan, Sherry dapat belajar dan mengetahui seluk beluk rumah sakit. Ia bercerita bagaimana kondisi tenaga medis ketika harus memakai APD selama bertugas, proses dekontaminasi yang cukup kompleks, hingga respon orang-orang ketika dites swab. Sherry sendiri menjadi relawan non-medis di bagian admin swab dan dekontaminasi. Jika di admin swab, Sherry bertugas sebagai administrator tes swab. Ia mengurusi pendataan pasien, dari mulai pendaftaran, panggilan antrian, menuliskan label data diri pasien, penomoran tabung, penginputan data ke komputer, hingga menyerahkan laporan ke atasan. Sedangkan ketika di bagian dekontaminasi, ia bertugas mengolah atau mengurusi limbah-limbah APD ataupun limbah infeksius dari tenaga medis setelah memasuki tower pasien. Ia mengatakan bahwa proses dekontaminasi bukan sembarang melepas APD lalu dibuang, tetapi harus melewati proses penyemprotan dengan cairan khusus, kemudian dibilas dengan air. Dalam hal ini, relawan bertugas mengawasi agar proses dekontaminasi dilaksanakan dengan benar sehingga tidak terjadi kefatalan ketika ada virus yang menempel. Selain itu, ia juga bertugas membersihkan peralatan APD seperti boots, face shield, dan lainnya sebelum digunakan oleh tenaga kesehatan. Sherry mengaku pekerjaan ini cukup menyita waktu, sebab ia juga harus membagi waktu dengan kuliah. “Agak lumayan (lama) lah terutama yang di dekontaminasi karena jam kerjanya 8 jam, kalau di admin swab setidaknya jam kerjanya cuma 4 jam,” ujarnya. Sherry menyebutkan bahwa bagian non-medis selain dekontaminasi dan admin swab, ada pula logistik, porter, admin sekretariat, pemulasaraan jenazah, asisten keperawatan, bidang IT, dan MCU. Selanjutnya, Sherry bercerita mengenai suka dan duka selama menjadi relawan di Wisma Atlet. Ia mengaku kesusahan untuk mengatur waktu antara kegiatan relawan dan kewajiban kuliah. Ditambah lagi ketika ia harus melakukan magang masyarakat yang merupakan kewajiban mahasiswa semester enam-tujuh, tetapi untungnya magang online. “Itu sih paling ngaturnya (waktu) susah disitu tapi syukurnya semua terlewati dan kayak nggak ada yang collab juga,” ungkap Sherry. Namun, Sherry mengaku lebih banyak mendapat suka ketimbang duka karena pengalaman tersebut dinilai sangat worth it. Ia bertemu dengan teman-teman yang baik dari admin swab maupun dekontaminasi. Kekeluargaan sangat terasa karena saling memberi perhatian. Ia semakin merasa terbuka karena dapat membaur dengan masyarakat yang berbeda latar belakang. “Bertemu dengan macam-macam orang dengan background pendidikan dan ekonomi yang berbeda, benar-benar menyenangkan karena aku jadi betul-betul membaur sama masyarakat, selama ini hanya berkegiatan di kampus doang, jadi merasa terbuka banget,” ucap Sherry. Dengan memperoleh dukungan dari keluarga dan teman-temannya, Sherry tidak terlalu mengalami masalah psikologis selama menjadi relawan Covid-19. Sedangkan tantangan terbesarnya adalah pada jam istirahat karena kegiatannya yang banyak membuat waktu tidur berkurang, bahkan sempat tidak tidur. Selain itu, tantangan lainnya adalah menjaga hubungan sosial bersama teman-teman agar tidak ansos (anti sosial) disamping menjalankan tanggung jawabnya. Menjadi relawan bagi Sherry merupakan sesuatu yang sangat berharga karena bakal ada pengalaman berkesan yang nantinya bisa diceritakan. Ia menyarankan untuk tidak takut mencoba volunteer karena segala kesulitan pasti akan ada solusinya, termasuk dalam hal manajemen waktu. “Teman-teman bisa fokus ke dua hal pada saat waktunya, waktu volunteer fokus volunteer, waktu kuliah fokus kuliah, pasti bisa kok terlaksana semuanya, semangat,” ucap Sherry. (/Wfr)

Kuliah Terbuka Manajemen Risiko Sektor Publik: Manajemen Risiko dan Ketangkasan Bisnis Menghadapi COVID-19

Yogyakarta, 8 Oktober 2020—Mata kuliah Manajemen Risiko Sektor Publik Program Studi S1 Manajemen dan Kebijakan Publik mengadakan pertemuan perkuliahan yang terbuka untuk umum. Dengan menghadirkan Hanif Muhammad, M.Sc., sebagai dosen tamu, pertemuan ini secara khusus membahas topik “Manajemen Risiko dan Ketangkasan Bisnis Menghadapi COVID-19.” Selain diadakan sesuai dengan jam mata kuliahnya—pukul 07.30 WIB, sesi diskusi bersama sang narasumber pun dipandu oleh salah satu dosen pengampu mata kuliah Manajemen Risiko Sektor Publik, Media Wahyudi Askar, S.IP., M.Sc., Ph.D. Sebagai CEO Boogie Protective dan Kepala Pusat Studi Inovasi dan Digital INDEF, Hanif menggabungkan teori yang ada dengan pengalaman yang ia jalani, baik dari sudut pandang personal maupun perusahaan, dalam membahas topik yang diangkat. Namun sebelum masuk ke pemaparan materi dari sang dosen tamu, Media selaku moderator membacakan CV yang sesekali ditanggapi langsung oleh Hanif sebagai bentuk pengenalan pada para peserta kuliah. Untuk awalan materi, Hanif bercerita sedikit mengenai latar belakang perusahaannya, tindakan yang ia dan tim ambil dalam merespons kebijakan di tengah pandemi, serta titik balik yang mengubah hidup dan cara pandangnya terkait pengelolaan perusahaan pada masa pandemi. Dari titik baliknya ini, ia merasa bahwa harus turun tangan untuk penanganan pandemi dalam kapasitasnya, walaupun langkah tersebut akan memunculkan risiko. Oleh sebab itu, manajemen risiko perlu untuk dilakukan. Hanif menyadari bahwa hidup pada dasarnya penuh risiko. Sehingga, jika usahanya tidak berani untuk mengambil risiko, maka usahanya tidak akan hidup. Namun, jika risiko tersebut juga tidak dikelola dengan baik, kegagalan dan kehancuran juga dapat terjadi. Menurut Hanif, pilihannya bukanlah menghilangkan risiko yang ada, tetapi mengelolanya. Hanif kemudian menjelaskan bahwa manajemen risiko memiliki dua konsep dasar yang sangat sederhana, yaitu paham apa yang terjadi dan tahu apa yang harus dilakukan. Untuk memahami risiko apa yang dihadapi, maka diperlukan tiga cara, yaitu asses, identify, dan analyze. Tiga cara ini bisa dilakukan dengan melakukan riset dari berbagai sumber seperti podcast dan berita. Mencari sumber informasi dengan luas membantu untuk memahami lingkungan strategis dan bisnis yang akan dijalankan dalam konteks yang lebih besar. Sebab hal-hal di luar dugaan akan selalu terjadi dan tidak dapat dihindarkan, Hanif menjelaskan bahwa dalam mengelola risiko perlu untuk selalu do what in control dan look up for open window. Dari situ, langkah-langkah kecil dapat dilakukan dan terus diulangi sampai menemukan strategi yang paling efektif. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan agile methodology, sebuah strategi yang menyoroti hal-hal kecil yang dapat menjadi faktor signifikan perubahan. Ketika berbagai strategi sudah diupayakan, tiap strategi dapat diproporsikan dengan skalanya masing-masing sesuai dengan efektivitas yang dihasilkan. Tidak lupa juga Hanif menjelaskan bahwa penting untuk melakukan kolaborasi dengan pihak lain, embarks leadership internally, mengurangi risiko yang dapat membebani pikiran, serta memikirkan upaya berkelanjutan. “Kondisi pandemi, kondisi krisis seperti ini benar-benar bisa melatih untuk mengelola risiko secara nyata. Sebab, kondisi terdesak lah yang membuat kita berpikir lebih, mencari solusi dan alternatif,” ungkap Hanif sebelum mengakhiri pemaparan materinya dengan rekomendasi buku. Sepanjang pemaparan materi, Hanif selalu melengkapi penjelasannya dengan contoh nyata—pengalaman yang sudah ia dan tim lakukan selama ini. Setelah merangkum keseluruhan penjelasan Hanif, Media mempersilakan para peserta kuliah untuk menanggapi, bertanya, dan berbagi pengalamannya juga. Beberapa peserta kuliah pun aktif bertanya dan memberikan tanggapan, yang kemudian juga dijawab dan ditanggapi kembali oleh Hanif. “Manajemen risiko itu harus dilatih. Ciptakan risiko agar dapat melihat peluang baru,” pesan Hanif sebagai penutup dari pertemuan perkuliahan “Manajemen Risiko dan Ketangkasan Bisnis Menghadapi COVID-19”, mata kuliah Manajemen Risiko Sektor Publik. (/hfz)

Dampak Strategi Nation Branding dalam Penyelenggaraan Ajang Olahraga Internasional

Yogyakarta, 8 Oktober 2020—Korps Mahasiswa Hubungan Internasional atau Komahi UGM menyelenggarakan Diskors (Diskusi Olahraga Skuy!) pada Kamis malam, (8/10). Diskusi Olahraga ini mengundang narasumber dari alumni dari Hubungan Internasional 2016 yaitu Antakarana Tanugraha. Pada kesempatan kali ini, diskusi membahas skripsinya yang berjudul “Nation Branding dalam Politik Penyelenggaraan Ajang Olahraga Internasional di Negara-negara Berkembang”. Acara berlangsung pada pukul 18.15 WIB. Latar belakang memilih olahraga sebagai bahan diskusi pada skripsi adalah karena olahraga memiliki sifat universal yang membuatnya diminati oleh sebagian besar masyarakat dunia.  Penyelenggaraan ajang olahraga sangat dinantikan oleh masyarakat dari seluruh penjuru dunia untuk menonton atau bahkan mendatangi langsung venue dari ajang olahraga. Menjadi negara tuan rumah penyelenggaraan ajang olahraga internasional merupakan hal yang sangat diimpikan karena kedatangan turis untuk menonton pertandingan memberikan peluang berupa economic boost sehingga menyebabkan negara-negara berkembang berlomba untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga. Diskusi ini membahas mengenai studi komparasi negara-negara berkembang sebagai tuan rumah olimpiade, yaitu Tiongkok (2008), Afrika Selatan (2010), Yunani (2004), dan Brazil (2016). Melihat keadaan pasca penyelenggaraan ajang olahraga itu sendiri, beberapa negara berkembang tersebut mengalami perbedaan kondisi dari sisi ekonomi setelah menyelenggarakan ajang olahraga. Tiongkok mengalami peningkatan dalam infrastruktur (kapasitas transportasi publik) dan lingkungan (kualitas udara) serta pertumbuhan ekonomi di Kota Beijing mencapai 2,5%.  Afrika Selatan mengalami peningkatan kualitas infrastruktur olahraga dan terus digunakan sampai saat ini. Selain itu, FIFA dan Kementerian Olahraga & Rekreasi Afrika Selatan melaporkan adanya keuntungan mencapai USD 2,5 miliar. Sementara, Yunani justru memunculkan utang yang besar untuk pembangunan fasilitas Olimpiade hingga menjadi salah satu faktor krisis ekonomi 2007-2008. Begitu pula Brazil, mengalami defisit anggaran yang berada di sekitar USD 121 juta hingga USD 151 juta dan fasilitas menjadi terbengkalai dengan adanya utang operasional. Dengan adanya perbedaan tersebut, rumusan masalah yang dibuat adalah mengapa Brazil dan Yunani mengalami defisit dari segi perekonomian setelah menjadi penyelenggara ajang olahraga ketika Tiongkok dan Afrika Selatan dapat meraih sejumlah keuntungan melalui upaya yang serupa. Menurut Anta, nation branding dalam penyelenggaraan ajang olahraga sangat berdampak pada economic boost pasca olimpiade. Melalui penelitiannya, ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan Brazil dan Yunani mengalami kerugian. Dari segi pemenuhan portofolio, Tiongkok membuka platform khusus untuk siaran langsung digital untuk persiapan serta kompetisi Olimpiade 2008 sehingga akses informasi untuk pecinta olahraga semakin luas. Afrika Selatan menggandeng perusahaan mitra untuk mengeluarkan produk-produk berkaitan dengan nuansa kebudayaan Afrika Selatan. Sementara, Brazil melakukan strategi pemasaran yang kurang efektif dan kemunculan berita dari media-media internasional ternama yang menyoroti keburukan selama persiapan Olimpiade 2016 sehingga memunculkan persepsi negatif bagi negara. Pun dengan Yunani, sejumlah sengketa dan skandal dalam negeri terekspos oleh media luar, seperti The Guardian. Dari segi monitoring, Tiongkok memberlakukan beberapa regulasi dan menjaga brand negara dengan kembali mengikuti bidding sebagai tuan rumah dari Asian Games dan Olimpiade Musim Dingin pada saat persiapan Olimpiade 2008 masih berlangsung. Afrika Selatan membentuk lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk menjaga brand atau reputasi sekaligus melakukan jajak pendapat berkala untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap negara, yakni Brand SA. Sementara itu, Brazil dan Yunani tidak ada lembaga khusus yang menangani nation branding serta tidak memiliki upaya yang jelas dari pemerintah untuk meningkatkan reputasi negara. Terkait regulasi, Brazil tidak memberlakukan regulasi-regulasi untuk membantu menjaga reputasi negara, sedangkan Yunani sudah berusaha memberlakukan regulasi namun terhalang oleh adanya pembengkakan anggaran. Selanjutnya, identitas unik suatu negara juga dapat digunakan untuk nation branding. Diantaranya, anggapan Tiongkok sebagai negara yang ramah lingkungan dengan pembangunan infrastruktur serta persiapan yang sangat efisien melalui kampanye Green Olympic. Pada Afrika Selatan, banyak pihak yang melihat Afrika Selatan mampu menunjukkan kebangkitan hingga mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan bahkan mampu terpilih menjadi tuan rumah dari Piala Dunia. Sementara, identitas Rio de Janeiro dan Brazil yang diasosiasikan sebagai wilayah kumuh dengan adanya sejumlah permasalahan lingkungan di sekitar kota tersebut. Pun dengan Yunani yang terasosiasikan dengan identitas-identitas tertentu, seperti negara dengan masyarakat yang cenderung tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan atau negara yang tidak serupa cerita di masa kuno. “Ya pokoknya dengan meningkatkan branding negara itu sendiri merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menyelenggarakan ajang olahraga karena dengan nation branding itu sendiri lah yang membuat negara-negara itu sendiri pasti bisa sukses dan melalui penjualan tiket maupun merchandise dapat menutup anggaran yang telah disediakan,” tutup Anta. (/Wfr)

Virtual Photoshoot: Stay Creative at Home

Yogyakarta, 5 Oktober 2020—Center Digital for Society menyelenggarakan program Digital Discussion yang ke-35 pada Senin malam (5/10). Acara yang bertajuk “Virtual Photoshoot: Stay Creative at Home” berlangsung melalui platform Whatsapp Group. Gandung Adi Wibowo, photographer, menjadi pemantik pada kesempatan kali ini. Acara dimulai pukul 19.00 WIB dan dimoderatori oleh Devia Putri Maharani, event assistant CfDS.

Seperti biasa, sebelum memulai diskusi, moderator menyampaikan aturan grup terlebih dahulu dan memperkenalkan pemantik. Bersama Gandung, diskusi yang berlangsung akan mengupas tuntas tentang virtual photoshoot. Dapat diakui, selama #dirumahaja, media sosial diramaikan oleh munculnya foto-foto aesthetic hasil dari sebuah tren pemotretan baru yang muncul ditengah pandemi yaitu virtual photoshoot. Sebagai pengantar, moderator menunjukkan beberapa foto hasil virtual photoshoot dan menanyakan konsep foto tersebut dilakukan kepada audiens. Rata-rata peserta masih bertanya-tanya mengenai konsep dari virtual photoshoot yang sedang marak di media sosial. Sebenarnya, kegiatan tersebut menjadi solusi mengatasi kebosanan para fotografer selama masa karantina yang membuat tidak bisa hunting foto di luar. Tren ini booming ketika banyak public figure yang juga melakukannya.

Gandung mengungkapkan bahwa konsep yang digunakan para model untuk melakukan virtual photoshoot adalah dengan video call bersama fotografer, mengarahkan gaya, lalu memotret layar. Untuk peralatan foto, yaitu menggunakan SLR, DSLR, Mirrorless & Pocket. Persiapannya sendiri sama seperti ketika foto normal, yaitu cek lokasi dan properti. Misalnya, sehari sebelumnya harus video call untuk melihat area rumah yang sekiranya cocok untuk spot foto, seperti cahaya yang cukup atau tempat yang unik. Selain itu juga sebagai acuan untuk kualitas internet antara fotografer dan model. “Kualitas internet jadi kunci utama, sebagus apa pun, semahal apa pun, secanggih apa pun perlengkapan, bakal keok juga kalau internetnya lemot,” ucap Gandung.

Media layar foto juga penting, tiap media layar memiliki plus-minus, entah kerapatan pixel, color gamut, atau lainnya yang akan menentukan kualitas foto. “Kalau pernah lihat virtual foto yg bintik pixelnya kelihatan, itu ya karena faktor layarnya. Tapi kalau teknologi baru sekarang layarnya udah bagus-bagus,” ujar Gandung. Berikutnya, jam saat foto perlu diperhatikan karena sangat menentukan banyaknya cahaya yang ada. Sebenarnya, handphone yang digunakan sudah dapat mengatur ISO, yaitu tingkat kepekaan/sensitifitas sensor terhadap cahaya. Semakin tinggi ISO, maka akan semakin peka terhadap cahaya. Jika lokasi foto kurang cahaya/redup, maka handphone akan secara otomatis menaikkan ISO. Risiko ISO tinggi adalah noise, misalnya akan kelihatan pixel layar & gambar gak tajam. Disini Gandung menunjukkan perbandingan foto yang memiliki ISO tinggi dan rendah.

Pada akhir pemaparan materi, Gandung memberikan sedikit tips untuk mengarahkan model. Tipsnya adalah selalu pegang prinsip, “kasih pujian baik, bukan kritik”. “Kalau mau dia senyum, ya buat dia tersenyum. Jangan,”ayo senyum! senyum!” tuturnya. Selanjutnya, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Acara berakhir pada sekitar 21.00 WIB. (/Wfr)

Tinjauan Kritis Hubungan Internasional di Tengah Pandemi COVID-19

Yogyakarta, 2 Oktober 2020

—Dalam rangka pekan pembuka kuliah Magister Ilmu Hubungan Internasional, Program Studi S2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Institute of International Studies menyambut para mahasiswa barunya dengan menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Tinjauan Kritis Hubungan Internasional di Tengah Pandemi COVID-19”. Dengan menghadirkan empat pembicara dan satu pembicara kunci, kuliah umum ini secara garis besar membicarakan pentingnya ilmu hubungan internasional dalam merespons perubahan di tingkat global yang disebabkan oleh pandemi. read more

Workshop Peran Dosen Mendukung Kesehatan Mental Mahasiswa Fisipol UGM

Yogyakarta, 1 Oktober 2020‒Gangguan mental bisa dialami siapa saja, tak terkecuali mahasiswa. Sadar akan perlunya dukungan dosen atas kesehatan mental mahasiswa, Career Development Centre (CDC) Fisipol, UGM, menggelar Workshop Kesehatan Mental mengenai “Peran Dosen dalam Mendukung Kesehatan Mental di Lingkungan Kampus Fisipol UGM”. Dosen Fakultas Psikologi UGM, Muhana Sofiati Utami, menjadi pemateri, sedangkan psikolog di CDC Fisipol UGM, Dina Wahida, menjadi moderator dalam acara yang diikuti oleh belasan staf pengajar Fisipol UGM ini.

“Mahasiswa biasanya mengalami gangguan mental seperti cemas, depresi, prokrastinasi, dan ketergantungan,” kata Muhana. Menurut dia, kecemasan dengan kadar yang cukup sebenarnya dapat menumbuhkan motivasi terhadap individu. Namun, jika berlebihan, kecemasan dapat menyebabkan seseorang memiliki kepercayaan diri yang rendah hingga selalu berpikir bahwa hal buruk akan terjadi kepada dirinya. Lebih jauh lagi, mahasiswa bisa juga mengalami depresi, mulai dari gangguan mood hingga upaya bunuh diri. Depresi bisa disebabkan karena perasaan seseorang yang merasa sangat diremehkan, tidak berharga, sangat bersalah, hingga merasa sangat kehilangan.

Kemudian, Muhana menuturkan, mahasiswa juga sering melakukan prokrastinasi atau menunda-nunda mengerjakan tugas. Dia pun mengakui bahwa terkadang dosen juga melakukannya. Realitanya memang banyak orang menunda-nunda pekerjaan karena asik mengerjakan hal lain. Selain itu, ia juga menemukan bahwa banyak mahasiswa yang mengalami ketergantungan internet. Ketika membuat survei di kelasnya, Muhana mendapat banyak jawaban dari mahasiswa bahwa mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan gadget. “Ada yang menonton drama korea, bermain games, dan membuka internet sampai berjam-jam sehingga tidak bisa mengerjakan hal lain,” tutur Muhana. Dia menambahkan, ketergantungan lebih ektrim pada anak muda yakni ketergantungan pada rokok, minuman keras, dan obat-obatan terlarang.

Muhana menjelaskan bahwa ciri individu yang mentalnya sehat adalah mampu menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, senang membantu dan dibantu orang lain, serta bertanggung jawab. Selain itu, individu yang sehat juga dapat menghargai dirinya, tidak membandingkan diri dengan orang lain, serta melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat dan keadaan dirinya. Dia mengatakan, ada mahasiswa yang memaksakan diri untuk melakukan hal yang tidak sesuai kemampuannya, karena membandingkan pencapaian orang lain. Padahal, imbuh Muhana, setiap orang memiliki bakat masing-masing. “Kalau kita bisa melakukan pekerjaan sesuai potensi kita, maka kita bisa memperoleh hasil yang baik,” terangnya.

“Mahasiswa Fisipol sudah menyadari tentang kesehatan maupun gangguan mental, namun kebanyakan dari mereka mendiagnosa dirinya sendiri,” kata Dina Wahida. Psikolog CDC ini mengatakan, adanya CDC di Fisipol UGM menumbuhkan kesadaran mahasiswa mengenai pentingnya kesehatan mental. Namun, di sisi lain, beberapa mahasiswa memanfaatkan layanan psikolog CDC untuk memenuhi kebutuhan akademik mereka. Menanggapi hal ini, Muhana mengatakan bahwa hal serupa juga dia temui di Gadjah Mada Medical Center. Dia menjelaskan, ada mahasiswa yang mendiagnosa dirinya sendiri dan ternyata benar, namun banyak juga yang ternyata salah. Muhana menuturkan, psikolog CDC dan dosen Fisipol perlu memahami kondisi mahasiswa yang mengaku memiliki gangguan mental. Dia menyarankan agar psikolog CDC Fisipol memastikan apakah mahasiswa itu betul-betul memiliki gangguan mental atau hanya berpura-pura.

Melanjutkan pertanyaan dari Dina, Lisa Lindawati, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom), juga menanyakan cara dosen menghadapi mahasiswa yang mengaku memiliki gangguan mental. Muhana menyarankan agar sebaiknya dosen mendengarkan cerita dari mahasiswa tersebut terlebih dahulu. Namun, lanjut dia, bukan berarti dosen akan menyelesaikan masalah dari mahasiswa. Muhana mengatakan, dosen yang mau mendengarkan masalah‒yang mempengaruhi akademik‒mahasiswa sebenarnya telah membantu meringankan beban mahasiswa tersebut. Sebab, mahasiswa merasa didengar dan membuat dia bisa menentukan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalahnya. “Kalau dosen tidak mampu, dosen bisa merujuk mahasiswa tersebut kepada yang lebih berwenang, misalnya psikolog CDC,” terang Muhana.

“Ketika mengerjakan skripsi, mahasiswa terlihat sangat kompetitif. Ada yang termotivasi, namun ada juga yang merasa tertekan,” tutur Jusuf Wahyuono. Staf pengajar di Dikom yang pernah menjadi tutor skipsi ini bertanya mengenai cara menjadi tutor skripsi yang baik dalam mendampingi mahasiswa di kondisi tersebut agar mahasiswa tetap semangat. Menurut Muhana, dosen atau tutor skripsi perlu menumbuhkan situasi yang kondusif, artinya membuat mahasiswa bisa saling membantu dan menyemangati. Dia menambahkan, dosen atau tutor skripsi juga bisa mendorong teman-teman dari mahasiswa yang merasa terpuruk agar menyemangatinya. Namun, dosen atau tutor skripsi juga harus memahami bahwa setiap orang memiliki tipe kepribadian yang berbeda, sehingga dapat memperlakukan mahasiswa dengan tepat. (/NIF)

Webinar SOPREMA 2020 “Youth 5.0: Untung-Rugi Sociopreneur di Era Kolaboratif untuk Bangkit dari Pandemi”

Yogyakarta, 1 Oktober 2020—Tahun ini, Sociopreneur Muda Indonesia atau SOPREMA hadir kembali. SOPREMA adalah program tahunan tingkat nasional oleh Youth Studies Centre (YouSure) FISIPOL UGM yang melibatkan pemuda usia 16-30 tahun untuk turut berkontribusi dalam pemecahan masalah sosial melalui kewirausahaan sosial. Sesuai dengan tujuannya, SOPREMA membuka luas kesempatan dan mendorong pemuda di seluruh Indonesia untuk menciptakan model usaha dengan melihat masalah sosial sebagai peluang pemberdayaan masyarakat, sehingga wirausaha yang dilakukan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Memasuki tahun kelima penyelenggaraannya ini, SOPREMA—bekerja sama dengan Kemenpora dan Bank BRI—melakukan penyesuaian dalam rangkaian kegiatannya agar tetap relevan dengan kondisi pandemi COVID-19. Selain mengangkat isu pandemi COVID-19 dalam tujuan dan tema kegiatan, SOPREMA juga melakukan seluruh rangkaian kegiatannya secara daring. Setidaknya, ada lima kegiatan dalam rangkaian acara SOPREMA 2020, antara lain kompetisi, inkubasi, webinar, expo, dan bincang muda. Sebagai awalan, SOPREMA mengadakan webinar bertajuk “Youth 5.0: Untung-Rugi Sociopreneur di Era Kolaboratif untuk Bangkit dari Pandemi”. Dalam webinar ini, lima pembicara dari berbagai stakeholder yang ahli di bidangnya hadir untuk menyoal pentingnya kolaborasi dalam usaha bangkit dari pandemi yang terjadi.

 

Dipandu oleh Mashita Fandia, Dosen Ilmu Komunikasi UGM, sebagai moderator, para pembicara dalam webinar ini banyak membahas topik yang diangkat berdasarkan pengalaman yang dijalani di bidangnya masing-masing. Namun sebelum itu, webinar diawali dengan sambutan dari Muhammad Najib Azca selaku Direktur YouSure, juga dari Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, selaku Dekan FISIPOL UGM. Tidak lupa, moderator juga memaparkan sedikit seputar tema dan ketentuan webinar, serta mengenai persyaratan doorprize, sebelum kemudian mempersilakan pembicara untuk menyampaikan materi.

Sebagai akademisi yang aktif dalam isu sociopreneur, Hempri Suyatna—pembicara pertama yang menyampaikan materinya—banyak bercerita mengenai urgensi kewirausahaan sosial, khususnya bagi para pemuda Indonesia. Dari urgensi tersebutlah kemudian SOPREMA hadir dengan visi dan misinya. Perkembangan SOPREMA dari tahun ke tahun pun dipaparkan oleh Hempri, termasuk juga rangkaian acara dalam SOPREMA 2020.

“Semangat yang dibawa SOPREMA sejalan dengan semangat Kemenpora dalam mendukung dan meningkatkan kapasitas individu terkait kewirausahaan sosial,” sebut Imam Gunawan, Asisten Deputi Kewirausahaan Pemuda, selaku perwakilan dari pihak pemerintah—khususnya Kemenpora. Pemerintah pun melakukan beberapa upaya untuk mewujudkan semangat tersebut, termasuk mendukung secara penuh penyelenggaraan SOPREMA. Imam juga memaparkan mengapa kerja sama dari seluruh pihak penting dalam pengembangan kewirausahaan sosial di masyarakat.

Ketiga pembicara lainnya merupakan representasi dari masyarakat yang aktif dalam kegiatan kewirausahaan sosial. Fathin Naufal, Founder Gifood yang pernah diikutsertakan dalam SOPREMA 2018, banyak menceritakan bagaimana start-up yang ia jalankan—Gifood dan Widya Edutech—beradaptasi dan berkontribusi untuk masyarakat pada masa pandemi COVID-19. Sementara itu, Denok Marty, sociopreneur sekaligus pegiat lingkungan hidup, banyak berbagi mengenai cara pandangnya dalam melihat permasalahan sampah sebagai potensi dan kekuatan yang perlu dikelola. Dengan kegiatan pengelolaan sampah yang ia dan tim lakukan di Kampung Kitiran, ada banyak dampak-dampak positif dari berbagai aspek yang kemudian masyarakat rasakan.

Menutup sesi pemaparan materi, Ucup Klaten, seorang content creator, menceritakan soal pengalamannya dalam memanfaatkan media sosial seperti Youtube, Tiktok, dan Instagram baik sebelum dan setelah pandemi COVID-19 melanda. Ketika sebelumnya Ucup menggunakan media sosial untuk mempromosikan usaha-usaha yang ia punya, pada era pandemi ini ia memanfaatkan media sosialnya secara penuh. Terutama setelah mengikuti lomba video bertema jaga jarak dan jangan mudik, ia mendapatkan banyak respons positif dari berbagai pihak. Dari situ, media sosialnya pun semakin ramai dan banyak mendapatkan tawaran kerja sama dari instansi-instansi pemerintah.

Setelah menyimpulkan secara singkat materi yang disampaikan oleh seluruh pembicara, moderator pun membacakan pertanyaan yang sudah banyak masuk sejak awal pemaparan materi, baik di kolom komentar Zoom maupun Youtube. Sebagaimana yang sudah disampaikan di awal, kedelapan pertanyaan yang terpilih berhak mendapatkan doorprize dari SOPREMA. Mekanisme penyerahan doorprize pun dijelaskan oleh moderator setelah seluruh pertanyaan dijawab oleh para pembicara. Dengan ucapan terima kasih untuk seluruh pengisi acara dan peserta, moderator pun resmi menutup webinar pukul 12:40 WIB. Tayangan ulang dari webinar awal SOPREMA ini dapat ditonton di kanal Youtube FISIPOL UGM. (/hfz)

Social Development Talks #8 2020: Decentralisation, Resources, and Brokers in Indonesia

Yogyakarta, 29 September 2020—Program Pascasarjana Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM menyelenggarakan Social Development Talks seri ke 8 pada tahun 2020. Topik “Decentralisation, Resources, and Brokers in Indonesia” yang menyoroti pelaksanaan otonomi daerah dalam tujuh tahun terakhir dibahas oleh pembicara Dr. Rachael Diprose,. dari University of Melbourne dan dimoderatori oleh Galih Prabaningrum, S.Sos., M.A., dosen Departemen PSdK. 100 peserta civitas akademika UGM menghadiri diskusi daring yang diadakan pada tanggal 29 November 2020 melalui webex. Indonesia, menurut Rachael Diprose, perlu menentukan keseimbangan desentralisasi yang tepat. Banyak hal yang bisa dipelajari dari pelaksanaan otonomi daerah dalam tujuh tahun terakhir dan pada gilirannya bisa berkontribusi pada usaha tersebut. Pemerintah mengklaim bahwa desentralisasi telah mengurangi konflik besar yang sebelumnya terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Namun ketika melihat jauh ke dalam, ditemukan bahwa, masih ada konflik-konflik skala kecil yang disebabkan oleh ketimpangan, ketidakadilan, dan kemiskinan seperti konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah. M. Najib Azca, dosen Sosiologi FISIPOL UGM, yang juga anggota tim peneliti menambahkan bahwa desentralisasi tidak serta merta mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah. Pada banyak kasus, manfaat desentralisasi lebih banyak dinikmati pada lapisan tipis daerah yang terdiri dari elit dan oligarki lokal yang tumbuh di era otonomi daerah. Kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan di daerah kaya tambang merupakan satu contoh dari fenomena tersebut. Untuk itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai otonomi daerah dalam rangka menemukan formula yang tepat untuk memastikan agar manfaat otonomi daerah dinikmati sebesar-besarnya oleh masyarakat daerah.

Inovasi dari Pengabdian, Formalitas Kampus dan Semua Cerita di Baliknya

Yogyakarta, 27 September 2020 – Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (GAMAPI) Fisipol UGM menyelenggarakan acara sharing session KKN online dengan tema “inovasi dari pengabdian, formalitas kampus dan semua cerita di baliknya”. Acara ini diselenggarakan secara daring via Instagram live dengan narasumber Muhammad Iqbal, mahasiswa MKP 2017. Sedangkan untuk pembawa acara dipandu oleh Amrih Mundi S, mahasiswa MKP 2019. Sharing session ini diselenggarakan dengan tujuan berbagi pengalaman yang sekaligus memberi pencerahan bagi mahasiswa lain  mengenai mekanisme KKN online.

“Berbicara mengenai KKN maka membawa imajinasi kita pada kegiatan pengabdian di pedalaman. Namun, KKN tahun ini berbeda karena diselenggarakan dengan sistem daring. Oleh karena itu, mungkin hal pertama yang ingin kita ketahui adalah soal apa sih perbedaan antara KKN daring dan Offline?” tutur Amrih dalam memberikan intermezzo sebagai pemandu arah diskusi. Menanggapi pertanyaan tersebut, Iqbal menyampaikan beberapa poin perbedaan antara KKN online dan offline. Dua poin penting yang disampaikan oleh Iqbal adalah soal interaksi dengan masyarakat dan pemahaman atas desa. Dalam hal ini, KKN online menyebabkan keterbatasan pengamatan dan interaksi secara langsung kepada masyarakat, hal tersebut lantas bermuara terhadap tingkat pemahaman terhadap masyarakat yang minim. Sedangkan jika dilaksanakan secara offline, interaksi dan pengamatan dapat dilakukan secara langsung, sehingga memberikan pamahaman yang lebih menyeluruh mengenai masyarakat dan desa.

Pembahasan selanjutnya berbicara mengenai prosedur pelaksanaan KKN online. Dalam hal ini Iqbal mengungkapkan bahwa secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan prosedur dalam pelaksanaan KKN online. “secara prosedur administratif mayoritas sama, minggu pertama menyusun LRK, terus membuat survei atau observasi di desa untuk identifikasi masalah, selanjutnya memilih prioritas masalah yang harus segera diselesaikan. Setelah itu, diturunkan dalam bentuk program, dan memasuki tahap kegiatan pelaksanaan program. Dan untuk minggu terakhir Menyusun LPK, terkait program yang terlaksana dan yang tidak terlaksana, hanya saja dalam pelaksanaan kegiatan diselenggarakan secara daring” tutur Iqbal.

Selain memberikan cerita mengenai perbedaan KKN dan prosedurnya, Iqbal juga memberikan beberapa tips bagi mahasiswa yang akan melaksanakan KKN. Dalam penuturannya, Iqbal menyampaikan bahwa sebelum kita melaksanakan sesuatu kita perlu memahami mengapa kita harus atau tidak harus melaksanakannya. Hal ini tentu berbeda-beda bagi setiap orang, namun bagi Iqbal, KKN sendiri merupakan momentum untuk belajar dari masyarakat. Selanjutnya ia juga menyampaikan bahwa KKN juga merupakan persoalan pembelajaran dan pemberdayaan. Dalam hal ini, selain kita belajar dari masyarakat, ketika syukur-syukur kita memiliki ilmu yang dapat membantu sesama, maka KKN adalah waktunya bagi seorang mahasiswa mempraktikkan ilmunya. Dalam hal ini, privilidge seorang mahasiswa yang memperoleh ilmu harus dimanfaatkan untuk membantu komunitas lain. (/Mdn)