Yogyakarta, 29 Mei 2024─Diskusi dominasi Pemerintah Pusat yang melegitimasi sentralisasi segala aspek atas nama kedaulatan energi dan kepentingan nasional dihadirkan oleh POLGOV UGM dan CELIOS dalam diseminasi buku “Merebut Kendali Transisi Energi: Tragedi Otonomi Daerah dalam Kebijakan Transisi Energi”. Kegiatan dilaksanakan secara hybrid di Gedung BA Lt. 4 FISIPOL UGM dan disiarkan langsung melalui Zoom Meeting serta Youtube DPP UGM dan CELIOS pada Rabu, (29/05). “Buku ini ditulis atas dasar keresahan dan beberapa penelitian CELIOS selama 2 tahun belakangan tentang isu transisi energi dan pemerintah daerah,” jelas Muhammad Saleh, penulis buku sekaligus peneliti CELIOS. Bintang Hanggono (Lingkar Keadilan Ruang), Ardiman Kelihu (Peneliti PolGov UGM), M. Addi Fauzani (Dosen & Peneliti Otonomi Daerah PSHK FH UII) turut hadir sebagai pembicara.
“Poin besar yang ditulis dalam buku yaitu aspek sentralisasi energi yang dijalankan oleh pemerintah kaitannya otonomi daerah,” lanjut Saleh. Ada dua masalah serius transisi energi di daerah yaitu 1) narasi eletis seolah transisi energi hanya menjadi isu pemerintah pusat dan beberapa pihak tertentu; serta 2) adanya gap antara pemahaman masyarakat level daerah dengan pemerintah pusat. Sentralisasi juga termanifestasi dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang menggeser aspek transisi energi jadi milik pemerintah pusat. Sehingga aspek pengawasan, pembinaan, dan perizinan praksis tidak dimiliki pemerintah daerah.
“Pemerintah pusat mungkin telah lupa dan telah abai pada kompromi yang disepakati bersama ketika reformasi. Politik hukum yang kita sepakati bersama adalah meletakkan titik temu otonomi daerah untuk menjembatani antara negara, pemerintah pusat, dengan kepentingan pemerintah daerah,” jelas Addi Fauzan. Sehingga perlu adanya perombakan pada kesepakatan dan komitmen awal tentang pelibatan daerah sebagai pihak yang terlibat dan berkontribusi atas penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Sementara itu, menurut Bintang kedaulatan energi identik dengan gagasan bagaimana regulasi dibuat bahwa listrik adalah energi yang harus dikuasai. Sektor kelistrikan dianggap sebagai sektor rakus lahan yang telah melakukan ekspansi pada lahan milik masyarakat termasuk masyarakat adat maupun sipil yang berdampak besar. Kasus riil juga ditemukan bahwa terbentuk monopoli tafsir hak menguasai negara melalui proyek strategis nasional terhadap urusan energi di Indonesia yang dipegang oleh pemerintah pusat. Hal ini memberikan gambaran bahwa pengelolaan energi masih sangat sentralistik, tidak demokratis, tidak transparan dan tidak partisipatif.
Bahasan yang disuguhkan dalam buku membuka praduga bahwa kita selalu dijauhkan dengan pengetahuan atas apa yang dikonsumsi hari ini. Artinya, kita selalu diposisikan sebagai konsumen tanpa tau apa yang kita konsumsi. Transformasi diskursus tentang transisi energi menjadi diskursus yang lebih jauh sederhana, membumi, dan berupaya membalik objek studi menjadi subjek yang mampu membicarakan isu energi dengan suara mereka sendiri perlu diterapkan. Diseminasi buku sekaligus diskusi yang diselenggarakan ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4 yakni Perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. (/dt)