Yogyakarta, 23 September 2022–Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM berkolaborasi dengan Fairwork Oxford Internet Institute (OII) Indonesia untuk membahas sekaligus meluncurkan hasil penelitian Rating Fairwork Indonesia 2022 pada Jum’at (23/9). Acara yang diselenggarakan dalam Digital Expert Talks #17 tersebut dihadiri oleh tiga narasumber; Treviliana Eka Putri, Peneliti Fairwork Indonesia; Yuli Adiratna, Direktur Bina Riksa Norma Ketenagakerjaan, Ditjen Binwasnaker dan K3 Kemnaker RI; Muhammad Fadh yang mewakili Gunawan Hutagalung, Plt. Direktur Pos Ditjen PPI Kominfo; serta dimoderatori oleh Amelinda Pandu, peneliti dari CfDS.
Penelitian Rating Fairwork Indonesia 2022 membahas seputar kondisi gig economy dan pekerja gig di Indonesia selama setahun terakhir. Penelitian dilakukan terhadap 11 platform ekonomi di Indonesia, yaitu Grab, Gojek, Gobox, Maxim, Borzo, Deliveree, InDriver, Lalamove, Paxel, Shopeefood, dan TravelokaEats.
Pembahasan diawali dengan pemaparan prinsip-prinsip pekerjaan yang layak menurut Fairwork oleh Trevi. Hal tersebut meliputi; upah, kondisi kerja, hubungan kerja (kontrak), manajemen, dan representasi yang layak. Namun, tidak semua prinsip tersebut dapat ditemukan pada 11 platform yang diteliti. “Tidak ada upaya yang cukup besar untuk memberi pekerjaan layak,” ungkap Trevi.
Melihat kondisi tersebut, Fairwork merekomendasikan perlunya dorongan bagi pemerintah untuk menciptakan regulasi yang mengatur standar kerja layak serta tarif untuk jasa logistik. Sedangkan, bagi platform, Fairwork juga merekomendasikan perlunya proses yang transparan dalam formulasi kebijakan. Selain itu, platform juga perlu memastikan hak pekerja untuk menyuarakan kekhawatiran mereka secara kolektif.
Kesejahteraan para pekerja gig juga mendapat perhatian dari Kementerian ketenagakerjaan (Kemnaker), terutama para pekerja transportasi online, mengenai perlindungan ketenagakerjaan. Menurut Yuli, hubungan kemitraan antara pihak platform dengan pekerja merupakan hal yang penting untuk dikaji. “Siapa yang mengendalikan dan siapa yang dikendalikan?,” pertanyaan tersebut menjadi basis penting untuk mengkaji hubungan antara pihak platform dan pekerja, Yuli juga menyetujui rekomendasi yang diajukan oleh Fairwork mengenai aturan untuk meregulasi platform.
Merespons pentingnya regulasi yang mengatur platform, terutama dalam mengatur tarif, Fadh menyampaikan beberapa tantangan dalam penyusunan regulasi tersebut. Perlu dicatat bahwa Kominfo memiliki kewenangan untuk menetapkan formula tarif layanan pos komersial. Layanan pos komersial yang dimaksud termasuk jasa kurir, logistic, dan transportasi online. “Dalam penyusunan tarif, mereka harus berpedoman pada apa yang pemerintah tetapkan,”.
Fadh menyebutkan bahwa tren free ongkir yang membebankan biaya kepada penyelenggara pos merupakan salah satu tantangan yang dihadapi. Selain itu, tarif yang ditetapkan layanan pos berbasis aplikasi juga dirasa tidak sesuai dengan pertimbangan ekonomi oleh para mitra pekerja. Anak perusahaan di bidang pos dan kurir yang dimiliki oleh Marketplace yang menjadi kompetitor layanan kurir dan pos juga memberi tantangan untuk menciptakan iklim industri yang tidak saling memakan.
Menutup diskusi, Treviliana berharap bahwa dengan riset yang telah berjalan di dua periode ini berbagai stakeholders terkait dapat membangun kebijakan yang mendukung kelayakan pekerja gig di Indonesia dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi. “Isu perlindungan terhadap pekerja gig economy merupakan isu bersama. Maka dibutuhkan kerja kolektif dari konsumen, pemilik platform, pekerja, dan juga pemerintah. Demi kebaikan dan kesejahteraan bersama”. (/tt)