Yogyakarta, 5 April 2024 – Center for Digital Society (CfDS) Response diskusikan fenomena kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa di berbagai universitas negeri dan swasta serta kemunculan fenomena pinjaman online (pinjol) sebagai opsi beberapa mahasiswa untuk membayar UKT melalui Live Youtube CfDS pada Jumat (05/04). Diskusi menunjukkan data hasil riset tim CfDS yang mengkaji cuitan melalui media sosial X yang viral tentang kenaikan UKT dan pinjol yang bermula pada 25 Januari 2024 dari akun menfess @itbfess. Cuitan tersebut menunjukkan brosur jasa pinjaman online untuk pembayaran UKT yang mendapatkan respon dari beragam pihak.
“Ada tren cuitan pinjol dan UKT dari 25 Januari 2024 dan meningkat lagi pada 4 Februari 2024 bersamaan dengan pembayaran UKT di beberapa universitas negeri di Indonesia,” jelas Achmed Faiz, Research Officer CfDS.
Berdasarkan hasil riset dengan kata kunci UKT dan pinjol, sebaran sentiment menunjukkan sebagian besar sentiment negative berupa kritik dan respon negatif terhadap kebijakan UKT melalui pinjol. Menurut Achmed, masalah yang ditemukan adalah UKT semakin mahal dan memberatkan tidak seimbang dengan kenaikan penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia. Data dari Kompas menyebut bahwa 28 tahun terakhir biaya pendidikan tinggi di Indonesia mengalami kenaikan signifikan mencapai 9900% sedangkan kenaikan penghasilan rata-rata masyarakat hanya sebesar 266%.
“Hal ini berpotensi membuat inflasi akademik, yang membuat masyarakat ekonomi rentan kesulitan mengakses perguruan tinggi,” jelas Achmed.
Sementara itu, Arifatus Sholekhah, Research Officer CfDS menambahkan bahwa ironi realita terkait pinjaman online adalah skema administrasi dan bunga cicilan UKT yang memberatkan mahasiswa. Melalui network analysis media sosial X yang dilakukan pada universitas sample yaitu UGM, ITB dan UI menunjukkan biaya pendidikan yang ditawarkan mahal serta solusi skema pembayaran UKT lewat pinjol berbunga jadi bahasan utama dari polemik UKT dan pinjol.
Secara tegas tim riset CfDS menolak adanya kerjasama perguruan tinggi dengan pihak pemberi pinjaman yang menggunakan bunga tinggi dan skema yang memberatkan. “Menolak berat, karena memberatkan dan tidak memberikan solusi tepat bagi mahasiswa,” jelas Arifatus.
Tim riset CfDS menggarisbawahi bahwa perguruan tinggi memiliki peran vital dalam kebijakan UKT terkait penetapan besaran UKT dan solusi yang bisa ditawarkan. Apabila terus berlanjut, dampak selanjutnya adalah industrialisasi pendidikan yang menyebabkan potensi UKT semakin mahal dan berakibat pada penurunan akses pendidikan serta kesenjangan sosial dalam jangka panjang.
“Melalui hasil riset ini kami mendorong sikap kritis civitas akademika dan peningkatan peran sarana advokasi mahasiswa agar bisa menyuarakan pada forum lebih tinggi untuk solusi yang lebih tepat bagi semua pihak,” tukas Arifatus. Tujuan dari riset ini sejalan dengan upaya mendorong poin SDGs ke-4 yakni Pendidikan Berkualitas.