Yogyakarta, 8 Oktober 2020—Korps Mahasiswa Hubungan Internasional atau Komahi UGM menyelenggarakan Diskors (Diskusi Olahraga Skuy!) pada Kamis malam, (8/10). Diskusi Olahraga ini mengundang narasumber dari alumni dari Hubungan Internasional 2016 yaitu Antakarana Tanugraha. Pada kesempatan kali ini, diskusi membahas skripsinya yang berjudul “Nation Branding dalam Politik Penyelenggaraan Ajang Olahraga Internasional di Negara-negara Berkembang”. Acara berlangsung pada pukul 18.15 WIB.
Latar belakang memilih olahraga sebagai bahan diskusi pada skripsi adalah karena olahraga memiliki sifat universal yang membuatnya diminati oleh sebagian besar masyarakat dunia. Penyelenggaraan ajang olahraga sangat dinantikan oleh masyarakat dari seluruh penjuru dunia untuk menonton atau bahkan mendatangi langsung venue dari ajang olahraga. Menjadi negara tuan rumah penyelenggaraan ajang olahraga internasional merupakan hal yang sangat diimpikan karena kedatangan turis untuk menonton pertandingan memberikan peluang berupa economic boost sehingga menyebabkan negara-negara berkembang berlomba untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga. Diskusi ini membahas mengenai studi komparasi negara-negara berkembang sebagai tuan rumah olimpiade, yaitu Tiongkok (2008), Afrika Selatan (2010), Yunani (2004), dan Brazil (2016).
Melihat keadaan pasca penyelenggaraan ajang olahraga itu sendiri, beberapa negara berkembang tersebut mengalami perbedaan kondisi dari sisi ekonomi setelah menyelenggarakan ajang olahraga. Tiongkok mengalami peningkatan dalam infrastruktur (kapasitas transportasi publik) dan lingkungan (kualitas udara) serta pertumbuhan ekonomi di Kota Beijing mencapai 2,5%. Afrika Selatan mengalami peningkatan kualitas infrastruktur olahraga dan terus digunakan sampai saat ini. Selain itu, FIFA dan Kementerian Olahraga & Rekreasi Afrika Selatan melaporkan adanya keuntungan mencapai USD 2,5 miliar. Sementara, Yunani justru memunculkan utang yang besar untuk pembangunan fasilitas Olimpiade hingga menjadi salah satu faktor krisis ekonomi 2007-2008. Begitu pula Brazil, mengalami defisit anggaran yang berada di sekitar USD 121 juta hingga USD 151 juta dan fasilitas menjadi terbengkalai dengan adanya utang operasional. Dengan adanya perbedaan tersebut, rumusan masalah yang dibuat adalah mengapa Brazil dan Yunani mengalami defisit dari segi perekonomian setelah menjadi penyelenggara ajang olahraga ketika Tiongkok dan Afrika Selatan dapat meraih sejumlah keuntungan melalui upaya yang serupa.
Menurut Anta, nation branding dalam penyelenggaraan ajang olahraga sangat berdampak pada economic boost pasca olimpiade. Melalui penelitiannya, ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan Brazil dan Yunani mengalami kerugian. Dari segi pemenuhan portofolio, Tiongkok membuka platform khusus untuk siaran langsung digital untuk persiapan serta kompetisi Olimpiade 2008 sehingga akses informasi untuk pecinta olahraga semakin luas. Afrika Selatan menggandeng perusahaan mitra untuk mengeluarkan produk-produk berkaitan dengan nuansa kebudayaan Afrika Selatan. Sementara, Brazil melakukan strategi pemasaran yang kurang efektif dan kemunculan berita dari media-media internasional ternama yang menyoroti keburukan selama persiapan Olimpiade 2016 sehingga memunculkan persepsi negatif bagi negara. Pun dengan Yunani, sejumlah sengketa dan skandal dalam negeri terekspos oleh media luar, seperti The Guardian.
Dari segi monitoring, Tiongkok memberlakukan beberapa regulasi dan menjaga brand negara dengan kembali mengikuti bidding sebagai tuan rumah dari Asian Games dan Olimpiade Musim Dingin pada saat persiapan Olimpiade 2008 masih berlangsung. Afrika Selatan membentuk lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk menjaga brand atau reputasi sekaligus melakukan jajak pendapat berkala untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap negara, yakni Brand SA. Sementara itu, Brazil dan Yunani tidak ada lembaga khusus yang menangani nation branding serta tidak memiliki upaya yang jelas dari pemerintah untuk meningkatkan reputasi negara. Terkait regulasi, Brazil tidak memberlakukan regulasi-regulasi untuk membantu menjaga reputasi negara, sedangkan Yunani sudah berusaha memberlakukan regulasi namun terhalang oleh adanya pembengkakan anggaran.
Selanjutnya, identitas unik suatu negara juga dapat digunakan untuk nation branding. Diantaranya, anggapan Tiongkok sebagai negara yang ramah lingkungan dengan pembangunan infrastruktur serta persiapan yang sangat efisien melalui kampanye Green Olympic. Pada Afrika Selatan, banyak pihak yang melihat Afrika Selatan mampu menunjukkan kebangkitan hingga mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan bahkan mampu terpilih menjadi tuan rumah dari Piala Dunia. Sementara, identitas Rio de Janeiro dan Brazil yang diasosiasikan sebagai wilayah kumuh dengan adanya sejumlah permasalahan lingkungan di sekitar kota tersebut. Pun dengan Yunani yang terasosiasikan dengan identitas-identitas tertentu, seperti negara dengan masyarakat yang cenderung tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan atau negara yang tidak serupa cerita di masa kuno.
“Ya pokoknya dengan meningkatkan branding negara itu sendiri merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menyelenggarakan ajang olahraga karena dengan nation branding itu sendiri lah yang membuat negara-negara itu sendiri pasti bisa sukses dan melalui penjualan tiket maupun merchandise dapat menutup anggaran yang telah disediakan,” tutup Anta. (/Wfr)