Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 menyatakan bahwa setiap desa berhak atas dana desa yang berasal dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN). Tentu, keputusan ini memberikan angin segar bagi kemajuan pembangunan desa.
Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si selaku Dekan Fisipol UGM dalam sambutannya di Seminar Nasional yang bertajuk “Dana Desa Untuk Kesejahteraan Masyarakat: Appraisal Implementasi 3 Tahun Dana Desa” mengungkapkan bahwa desa adalah elemen penting dalam pembangunan negara. “Selama ini kita masih mengabaikan pentingnya pembangunan desa, realitas yang ada banyak pembangunan yang terus terpusat di perkotaan,” paparnya. Menurut Erwan, dengan adanya dana desa adalah salah satu upaya dalam memajukan pembangunan desa.
Seminar tersebut diinisiasi oleh Fisipol UGM bersama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kemendesa), Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, serta Institute for Research and Empowerment (IRE). Bertempat di Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM (9/12), menghadirkan langsung Sekretaris Jenderal Kemendesa Republik Indonesia, Dr. Anwar Sanusi sebagai keynote speaker. Selain itu, seminar ini juga dilengkapi dengan pemaparan hasil riset yang dilakukan oleh Dr. Bambang Hudayana selaku Dosen Antropologi UGM, Dr. Agus Heruanto Hadna selaku Kepala PSKK UGM, dan Sunaji Zamroni, M.Si selaku Direktur Eksekutif IRE serta dilanjutkan dengan pembahasan dari Imam Aziz selaku Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama dan Asep Suryahadi selaku Direktur The SMERU Research Institute.
Anwar Sanusi, saat memberikan keynote speaker, mengungkapkan bahwa selama tiga tahun ini pencairan dana desa telah mancapai sekitar Rp300 triliun sampai Rp400 triliun. “Meskipun di awal-awal tahun penyerapan anggaran masih sangat rendah, di tahun 2015 hanya terserap 20,7 persen saja. Namun di tahun-tahun selanjutnya penyerapan semakin meningkat,” jelasnya. Anwar mengharapkan bahwa penyerapan ini tentu dapat dimanfaatkan untuk kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Selain itu, juga berdampak pada semakin majunya demokrasi di tingkat desa melalui partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan.
“Output yang dihasilkan dari penyerapan dana ini diantaranya adalah infrastruktur seperti jalan dan jembatan desa. Output juga dalam bentuk upaya pelayanan masyarakat seperti pukesmas, posyandu, maupun MCK (Mandi, Cuci, Kakus),” papar Anwar.
Selain memberikan kemajuan, dana desa juga mampu mendorong inovasi pembangunan di tingkat desa. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bambang, Sumaji, Agus dan kawan-kawan di 17 provinsi di Indonesia menangkap hal tersebut. Bambang mengungkapkan bahwa penggunaan dana desa menciptakan beberapa inovasi pembangunan, diantaranya program bedah rumah yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Rappoa, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan; program beasiswa untuk sarjana yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Biawer, Kabupaten Biak, Papua; penyediaan bidan desa; penguatan modal usaha; dan program santunan lansia yang dilakukan di beberapa pemerintah desa di Indonesia. Hasil ini setidaknya menunjukkan bahwa dana desa tidak hanya terpusat pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga menyangkut pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan hajat hidup masyarakat.
Namun, memang pembangunan dalam bentuk inovasi-inovasi tersebut masih terhitung rendah. Hal ini diungkapkan oleh Asep Suryahadi, “Pembangunan masih banyak dalam bentuk infrastruktur, tetapi pembangunan yang menyangkut pemberdayaan masih rendah.” Menurut Asep, keadaan ini tidak bisa terlepas dari pola pikir masyarakat bahkan pemerintah bahwa pembangunan infrastruktur lebih dianggap “nyata” ketimbang investasi dalam bentuk pemberdayaan. Oleh karena itu, Asep mengharapkan baik bagi pemerintah pusat maupun desa untuk lebih mendorong kembali pembangunan-pembangunan yang berbasis pemberdayaan dan peningkatan kemampuan SDM. Tentu, hal ini bukan hanya dimaknai dalam bentuk pelatihan satu atau dua kali, tetapi yang bersifat keberlanjutan. (/ran)