Tumbangnya rezim Orde Baru (Orba), menjadi titik awal lahirnya sistem demokrasi di Indonesia. Cerita tentang rezim otoriter seolah hilang bersamaan dengan lahirnya kekuasaan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Sistem demokrasi ini diharapkan mampu membawa kesejahteraan bukan hanya bertumpu pada kelompok elit pemerintahan, tetapi juga menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mengacu pada prinsip yang ditawarkan oleh sistem demokrasi itu sendiri dimana rakyatlah yang memegang penuh atas kontrol publik.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A dalam Seminar Diseminasi Riset Program Popular Control and Effective Welfare (PACER) bahwa harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud di Indonesia. Demokrasi di Indonesia masih sekedar dimaknai sebagai sebuah pesta elektoral semata.
Seminar yang bertajuk “Menuju Demokrasi yang Menyejahterakan” ini merupakan bagian dari rangkaian Fisipol’s Research Days 2017. Bertempat di Ruang Auditorium Gedung BB Fisipol UGM (22/11), seminar ini diawali dengan sesi roundtable yang dimoderatori oleh Dr. Erwan Agus Purwanto. Pada sesi kali ini menghadirkan Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A selaku koordinator riset PACER di kluster power welfare and democracy dan Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono sebagai koordinator riset PACER di cluster keseimbangan kelembagaan.
Dalam sesi ini, Purwo menjelaskan bagaimana demokrasi di Indonesia masih belum mengarah pada pembangunan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. “Kita masih hanyut pada elektoralisme demokrasi. Dalam demokrasi Indonesia rakyat hanya menjadi voters yang berujung pada money politics,” ujar Guru Besar Fisipol UGM ini. Menurut Purwo, demokrasi itu berakar pada kata demos yang berarti kontrol publik. Namun, demokrasi di Indonesia hanya berkutat pada menyepakati siapa yang berwenang dan berkuasa di negeri ini.
Oleh karena itu, Purwo mengharapkan demokrasi yang berakar pada dua hal penting. Pertama, ekspresi kerakyatan yang lebih aktif dan ekspresif sehingga akan terbangun kontrol publik di dalam proses demokrasi. Kedua, menghidupkan mimpi besar demokrasi yaitu mewujudkan demokrasi yang menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.
Pujo menambahkan bahwa demokrasi selama ini memang melepaskan kita pada tragedi kelaparan dan kemiskinan. “Sejak empat dekade terakhir masyarakat Indonesia mengalami peningkatan penghidupan yang sangat besar, kita sudah berubah dari bangsa miskin dengan produk perkapita dibawah 300 dolar Amerika menjadi bangsa menengah dengan produk perkapita sebesar 3.346 dolar Amrik,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM ini. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat juga mengalami peningkatan ekonomi yang ditandai dengan semakin banyaknya rumah batu berjendela dan kendaraan bermotor.
Namun di sisi lain, sekarang kita dihadapkan pada jurang ketimpangan yang teramat lebar. “Bahwa peningkatan Gross Domestik Produk tidak terdistribusikan secara merata diantara seluruh warga. Rasio gini di tahun 1984 ada pada angka 30,5 di tahun 2015 ada pada angka 40,2. Ini akan terus meningkat,” ungkap Pujo.
Pujo menafsirkan bahwa realitas ini terjadi karena demokrasi di Indonesia hanya menghasilkan kebebasan yang dimanfaatkan secara tidak merata. Hal ini dilihat dari adanya pergeseran dalam sistem ekonomi dari arena produksi menjadi arena pemburu rente. “Pemburu rente ini tidak menghasilkan kapital dengan proses produksi, tetapi dengan cara menyewakan akses produksi yang bukan haknya,” papar Pujo. Seperti yang bisa kita lihat bagaimana pengelolaan minyak atau hutan di Indonesia yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Padahal minyak dan ribuan pohon di Kalimantan misalnya, adalah hak seluruh masyarakat.
Terakhir, Pujo menekankan bahwa semakin lebarnya ketimpangan adalah sebuah kenyataan yang merusak demokrasi kita. Hal ini salah satunya dikarenakan ketimpangan akan menyuburkan politik populis bodong. Politik yang dimenangkan oleh politisi yang licin membangun dan membangkitkan emosi dangkal bagi masyarakat. (/ran)