Yogyakarta, 21 Maret 2024—Perkembangan dan kemajuan teknologi adalah hal yang tidak dapat dihindari. Pada satu sisi, teknologi canggih dan modern memberikan berbagai kemudahan dalam segala aspek kehidupan manusia. Tapi di sisi lain, kesenjangan yang ditimbulkan menyebabkan adanya fenomena “dehumanisasi”. Opini ini tercantum dalam buku “Proliferasi Pemikiran Sosial Kritis: Memaknai Emansipasi, Menolak Dehumanisasi” yang dibahas tuntas dalam bedah buku Departemen Sosiologi pada Kamis (21/3).
Buku ini ditulis langsung oleh Prof. Dr. Heru Nugroho sebagai Guru Besar Departemen Sosiologi UGM. “Latar belakang saya menulis buku ini adalah dimulai dari komitmen saya. Dulu di Departemen Sosiologi yang sudah mulai menua, jadi saya tergelitik untuk regenerasi. Saya kira tidak cukup dengan mengajar saja, tapi bisa melakukan regenerasi dengan cara lain. Saya tidak ingin ilmu ini melekat pada diri saya sendiri, jadi saya ingin untuk yang lain juga bisa dicap kritis,” papar Prof. Heru. Bersama dengan bantuan Wakil Rektor UGM, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si. buku ini hadir sebagai lanjutan dari buku kritis lainnya karya Prof. Heru.
Pemikiran sosial kritis dalam buku ini mengkritik bagaimana perkembangan dan praktik digital serta transformasi ekonomi-politik liberal berpengaruh terhadap hilangnya hak warga negara. Melalui sudut pandang sosiologi kritis, argumen dalam buku berusaha mengelaborasi jurang kesenjangan dan efek negatif dari perubahan neoliberal. Munculnya kerentanan pekerja akibat teknologi, hak-hak digital masyarakat, aksesibilitas pendidikan, hingga privatisasi layanan publik menjadi problematika yang mengancam kesejahteraan masyarakat. Uniknya, buku ini tidak membahas secara teknis dan instrumental, melainkan berusaha mengajak pembaca untuk turut berpikir kritis dan mencari solusi atas modernisasi yang tidak terhindarkan ini.
Rizqyansyah Fitraramadhana, S.Sos, sebagai salah satu penulis turut menyampaikan keresahannya akan akses pendidikan di Indonesia. “Saya pernah mengalami kendala untuk membayar uang kuliah. Kemudian saya mencoba mendalami, dan sempat ikut advokasi. Dalam advokasi tersebut saya banyak mendengar cerita dari teman-teman. Ketika Indonesia masuk ke masa reformasi, mulai banyak orang yang mengeluhkan kuliah semakin mahal. Berangkat dari itu, saya menulis sebenarnya kenapa biaya kuliah itu menjadi mahal,” terang Rizqy.
Menurut Rizqy, kondisi tersebut turut menjadi penghambat tercapainya Indonesia Emas 2025. Masa di mana Indonesia akan menghadapi bonus demografi adalah berkah sekaligus tantangan. Diperlukan sumber daya intelektual yang kuat dan masif untuk dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Tentunya universitas sebagai agen pendidikan memiliki peran penting untuk menghasilkan sumber daya manusia yang mampu menguasai kemampuan di bidang baru. Hal ini juga sejalan dengan SDGs 4 (Pendidikan Berkualitas).
“Ini menimbulkan paradox. Indonesia Emas membutuhkan SDM yang sangat banyak, tapi di sisi lain kita menemukan realitas biaya kuliah semakin tinggi. Paradox lainnya adalah misalnya pemerintah menginginkan sumber daya dengan keterampilan tinggi, tapi dana APBN untuk perguruan tinggi tidak sampai 2%. Kalau saya baca di rekomendasi UNESCO itu kan paling tidak 2%, kita masih ada di range 0,3-0,6,” tambahnya.
Tak hanya soal pendidikan, kesiapan masyarakat dalam menerima perkembangan teknologi juga menjadi isu penting. Kecepatan laju informasi dan kemudahan aksesnya membuat jaringan informasi mustahil dapat disaring. Lalu di lain sisi, masyarakat masih tergolong rentan untuk dapat melakukan pemilahan informasi dalam media digital yang diakses. Fenomena ini memunculkan problematika yang lebih serius, yaitu persebaran hoaks, misinformasi, bahkan penipuan berbasis AI. Buku ini hadir bukan untuk melawan paham neoliberal dan berusaha menggantikan dengan ideologi lain. Penulis berusaha memicu pemikiran kritis pada pembaca, sehingga mampu menghasilkan tindakan nyata solutif akan permasalahan-permasalah tersebut. (/tsy)