Difabel dan Kekerasan Seksual

Yogyakarta, 3 September 2021─Fisipol Crisis Center (FCC) UGM menyelenggarakan acara webinar ruang aman fisipol dengan tajuk “Difabel dan Kekerasan Seksual”. Acara ini diselenggarakan secara daring dan menghadirkan dua narasumber yaitu Sarli Zulhendra, Anggota Tim Advokasi Sigab dan Alexander Farrel, Mahasiswa Difabel Netra UGM. Selain itu, webinar ini juga menghadirkan dua juru bahasa isyarat, sehingga acara terselenggara dengan cukup inklusif.  Pada kesempatan kali ini, acara diikuti oleh 48 peserta dengan pembahasan mengenai kekerasan seksual terhadap difabel, cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual, dan etika melayani difabel dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Membuka acara webinar, kesempatan sharing materi pertama disampaikan oleh Sarli Zulhendra. Dalam penuturannya, Sarli menyampaikan materi terkait kekerasan seksual dan tantangannya dalam proses hukum. Sebelumnya, sebagai advokat sigab sarli cukup banyak mendampingi berbagai kasus kekerasan seksual. Sigab sendiri merupakan lembaga independen dan nonpartisan yang memperjuangkan hak-hak difabel dalam berbagai isu. Dalam praktek advokasi, Sigab sendiri mulai mendampingi kasus kekerasan seksual difabel sejak tahun 2012, dalam kasus ini terdapat tantangan yang cukup berat, karena aparat penegak hukum sangat diskriminatif terhadap teman-teman difabel. Selain itu, stigma yang selama ini melekat pada kelompok difabel, seringkali menyebabkan mereka dianggap tidak mampu memberikan keterangan yang sesuai dengan standar umum. Oleh karena itu, prinsip aksesibilitas perlu menjadi landasan dalam berbagai penanganan kasus kekerasan seksual difabel. Beberapa hal yang perlu dipenuhi adalah menghadirkan seorang ahli yang mampu memahami teman-teman difabel, membangun infrastruktur yang ramah difabel, dan bersikap sopan terhadap kelompok difabel.

Upaya menciptakan perguruan tinggi yang mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap difabel dapat dilakukan dalam beberapa cara, diantaranya meningkatkan kampanye kampus ramah dari kekerasan seksual, memasukkan prinsip perlindungan penyandang disabilitas dalam statuta kampus atau tata tertib fakultas, dan mengupayakan pemenuhan aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam pendidikan. Menambahkan materi dari pembicara pertama, Alexander farrel mengungkapkan bahwa diperlukan komitmen dari berbagai kalangan dalam menciptakan ruang yang inklusif dan aman bagi teman-teman difabel. Dalam hal ini, dukungan orang-orang terdekat seperti keluarga menjadi salah satu kunci untuk mewujudkan tercapainya perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual. Dengan menerapkan edukasi dari lingkungan terkecil, seperti keluarga, lalu berlanjut ke lingkungan pertemanan, hingga lingkungan yang lebih luas diharapkan dapat menjadi cara yang efektif dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap difabel. (/Mdn)