Digitalk #52 Tekankan Pentingnya Literasi Keuangan Digital

Yogyakarta, 18 Agustus 2022—Center for Digital Society (CfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM kembali menggelar serial Digitalk #52 dengan tajuk “Bijak dengan Keuangan Digital: Diskusi tentang Produk Keuangan di Tengah Era Digital” pada Kamis (18/8). Serial Digitalk kali ini menghadirkan beberapa narasumber yang ahli di bidang keuangan digital, seperti Rizki Ameliah, Koordinator Literasi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI; Risa Fajarwati, Kepala Sub Bagian Perizinan, Informasi, dan Dokumentasi Kantor OJK D.I. Yogyakarta; Tomy H. Wibowo, Gembala Senior GBI Generasi Baru Yogyakarta; dan Amelinda Pandu K., Peneliti CfDS UGM. Serial Digitalk yang bekerja sama dengan Kominfo RI ini fokus membahas pengelolaan keuangan digital.

Risa membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa ekonomi digital di Indonesia terdiri dari berbagai macam. Masing-masing dari sistem ekonomi digital tersebut memerlukan pengawasan. OJK mengawasi P2P Lending, digital financial innovation, security crowdfunding, dan digital banking. BI mengawasi Gopay, OVO, dan aktivitas pembayaran digital lainnya. Kementerian Keuangan mengawasi pajak dan Kementerian Sosial mengawasi social crowdfunding. “Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengawasi kripto aset, tapi biasanya salah alamat ke OJK, misalnya Binomo malah ke OJK padahal seharusnya ke Bappebti,” jelas Risa.

Dari pengalamannya mengawasi transaksi keuangan digital di OJK, Risa mengetahui bahwa digitalisasi keuangan membuat transaksi keuangan lebih cepat dari biasanya. Namun, ada risiko baru yang hadir bersamaan dengan kecepatan itu. Bagi lembaga penyedia layanan keuangan, digitalisasi meningkatkan angka persaingan. Bank-bank umum, misalnya, mulai tergantikan dengan bank penyedia layanan digital. Bagi konsumen, praktik ilegal kian mudah melancarkan aksinya. “Misalkan, praktik pinjaman online ilegal kerap menjerat pengguna keuangan digital yang tidak paham,” jelas Risa. 

Antisipasi berbagai risiko tersebut harus dilakukan secara sinergis oleh penyedia layanan dan konsumen. Lembaga penyedia layanan keuangan memiliki peran untuk meningkatkan pelayanannya. Sementara itu pada saat yang bersamaan, konsumen harus mendapat literasi keuangan digital.

Senada dengan Risa, Tomy mengungkapkan bahwa industri keuangan berkembang sangat pesat saat ini. Sebagai Gembala Senior di GBI Generasi Baru Yogyakarta, Tomy menceritakan pengalamannya menuntun umat Kristen untuk merespons perkembangan keuangan digital. “Keuangan digital hadir dengan beragam potensi dan tantangan, yang berpotensi menimbulkan bencana apabila tidak disikapi dengan tepat,” ujar Tomy.

Tomy menganggap bahwa teknologi keuangan bersifat netral. “Ibarat pisau, teknologi keuangan digital dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan kebaikan atau justru sebaliknya,” ujar Tomy. Ia kerap menemukan bahwa sebanyak 70% pinjaman online dilakukan oleh mahasiswa sebagai peminjamnya. Tujuannya kadang tidak jelas, bahkan cenderung negatif, seperti untuk judi online. Hal inilah, sebagaimana dijelaskan Tomy, menjadi penyebab terjadinya hal-hal negatif akibat pinjaman online. Tujuan-tujuan tidak jelas dan negatif di balik pinjaman online tersebut perlu dikendalikan dengan literasi digital.

Menyambung dua pembicara sebelumnya, Amelinda mengungkapkan bahwa ada banyak sekali transformasi yang disebabkan oleh kemunculan keuangan digital. Salah satunya adalah meningkatnya inklusi keuangan. “Peningkatan inklusi keuangan ini disebabkan oleh fleksibilitas, kemudahan, dan akuntabilitas yang dihadirkan oleh keuangan digital,” jelas Amelinda.

Namun, Amelinda juga mengakui beberapa sisi buruk dari keuangan digital. Misalkan, ada pengguna keuangan digital yang terlalu konsumtif dalam meminjam pinjaman online. “Namun, masalah ini bukan hanya tanggung jawab konsumen, melainkan juga tanggung jawab penyedia layanan keuangan digital,” ujar Amelinda.

Tanggung jawab penyedia layanan digital, menurut Amelinda, adalah menyediakan layanan yang beretika. “Ada banyak penyedia layanan digital yang mempersuasi konsumen untuk bertindak konsumtif sehingga menguntungkan mereka,” jelas Amelinda. Hal ini mungkin akan meningkatkan keuntungan penyedia layanan digital, tetapi akan sangat merugikan konsumen yang menjadi konsumtif.

Pada akhirnya, menurut Amelinda, dampak-dampak negatif keuangan digital merupakan tanggung jawab bersama antara konsumen dan penyedia layanan digital. “Konsumen harus bersikap bijak, sementara penyedia layanan digital harus berhenti menyediakan impian-impian palsu melalui iklan-iklannya,” ujar Amelinda. Tanpa peran keduanya, dampak-dampak negatif keuangan digital akan terus bergulir. (/bkt)