Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) Fisipol UGM menggelar Joint Research Workshop secara tertutup bersama Asia Research Centre sebagai bagian dari Universitas Murdoch, Australia. Bertempat di Hotel University Club (UC), Rabu (7/2), workshop ini mengangkat tema “The Politics of a Changing Southeast Asia: International and Comparative Perspectives” dengan berbagai tema di setiap panel. Salah satu yang isu yang dekat dengan masyarakat Asia Tenggara adalah peran Cina yang dianggap semakin kuat dan berpengaruh.
Nur Rachmat Yuliantoro, staf pengajar DIHI, berargumen bahwa Belt and Road Initiative yang menjadi kebijakan utama Cina merupakan sarana Cina membentuk citra diri yang lebih positif di ranah internasional. Pandangan yang ada di masyarakat saat ini cenderung negatif, terkait dengan produk-produk ekspor Cina dan peningkatan kekuatannya, baik ekonomi maupun militernya.
“Di kelas, ketika saya menanyakan pendapat tentang Cina pada mahasiswa, mereka menjawab Cina adalah negara penjiplak (copycat), tidak menghargai hak asasi manusia, serta berusaha untuk menjadi kekuatan hegemoni internasional,” ungkap Rachmat.
Melalui Belt and Road Initiative, Pemerintah Cina menawarkan kerja sama ekonomi dalam bentuk perdagangan dan pembangunan infrastruktur yang tidak hanya menguntungkan Cina, tetapi juga negara-negara yang tergabung di dalamnya. Citra yang negatif tadi diharapkan berubah karena peran Cina dalam menumbuhkan ekonomi dunia yang terbuka.
Belt and Road Initiative sendiri akan mencakup Cina daratan, Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga Afrika dan Eropa. Megaproyek infrastruktur ini bernilai $3 triliun perdagangan dan $23 triliun produk domestik bruto yang berkontribusi pada 62% warga dunia.
Sementara itu, Kanishka Jayasuriya dari Universitas Murdoch mengatakan kebijakan Belt and Road Initiative di bawah Xi Jinping memiliki kaitan yang sangat besar dengan politik domestik. Ia berpendapat bahwa inisiatif tersebut merupakan produk relasi sosial dan aliansi antara pemerintah Cina dengan badan-badan usaha milik negara maupun swasta di Cina. Akhirnya, terbentuklah inisiatif tersebut sebagai rezim akumulasi.
Sedangkan, politik domestik negara-negara mitra juga merasakan dampak dominasi Cina. Isu kerja sama infrastruktur yang dipelopori Cina akan dengan mudah menjadi dasar dari narasi-narasi xenofobia. Reteritorialisasi ruang ekonomi Cina ini pada akhirnya diinterpretasikan sebagai “ancaman Cina” yang berujung pada sentimen populis anti-Cina seperti yang dapat ditemui di kalangan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, potensi sentimental ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah negara-negara mitra untuk meyakinkan publik mengenai kebaikan Belt and Road Initiative.
Selain membahas tentang Cina dan pengaruhnya pada Asia Tenggara, workshop ini juga mengangkat tema-tema seperti pembuatan anggaran dan transparansi, pola-pola regionalisme di Asia, representasi politik di Asia Tenggara, ekonomi politik persaingan spasial, serta inisiatif anti-korupsi. (/KOP)