Yogyakarta, 26 Desember 2023—Menuju penghujung tahun 2023, telah banyak hal yang terjadi seputar dunia komunikasi. Kemunculan isu-isu dalam komunikasi, khususnya di dunia digital memberikan gambaran besar kesiapan bangsa dalam meyambut perkembangan teknologi. Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM memberikan rangkuman serangkaian isu dalam lingkup komunikasi yang penting untuk dibahas dalam “Kaleidoskop Komunikasi 2023” pada Jumat (22/12).
Perumusan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ditujukan sebagai salah satu instrumen kebijakan dunia digital. Sejak tahun 2008, UU ITE mulai dirancang untuk mengatur penggunaan internet dan transaksi digital di e-commerce. Selanjutnya mulailah fokus penyeleksian konten internet pada tahun 2016, saat itu memang internet tidak secepat saat ini. Kemudian pada tahun 2020, Kemekominfo mengeluarkan aturan bagi setiap platform digital untuk mendaftarkan layanannya agar bisa diakses oleh masyarakat. Mulailah muncul kontroversi ketika beberapa aplikasi dan layanan digital diblokir oleh Kemenkominfo pada 2022.
“Salah satu dasar UU ITE yang juga menuai pro kontra itu ketika setiap platform digital disuruh untuk mendaftar. Persiapannya memang dua tahun, diberitahukan tahun 2020 lalu 2022 mulai diblokir. Tapi masalahnya kan, apa benar Kemenkominfo mampu mengawasi sekian banyak platform dan konten digital,” tutur Peneliti Pemantau Regulasi dan Regulator Media, Engelbertus Wendratama. Membeludaknya konten-konten digital di media sosial dan platform lain menyebabkan fungsi pengawasan kurang efektif jika hanya dilakukan oleh sebuah lembaga.
Belum selesai dengan persoalan izin layanan, beberapa pasal di UU ITE dianggap belum jelas dan seringkali dimanfaatkan beberapa oknum untuk mendapatkan pembenaran hukum. Sejak revisi UU ITE pada tahun 2016 tentang pencemaran nama baik, pengaduan terkait kasus penghinaan dan pencemaran nama baik banyak dilaporkan. Ketika seseorang mengutarakan pendapat yang berunsur kebencian, kritik, atau keributan, pihak yang merasa tersinggung langsung membawa perkara tersebut ke meja hijau. Maraknya pengaduan ini mengindikasikan bahwa UU ITE justru banyak disalahgunakan.
“Sebagai perbandingan jika di negara demokrasi maju, disebut pencemaran nama baik jika apa yang saya sampaikan itu salah. Nah, di undang-undang ITE itu belum tegas. Paling banyak itu dari kalangan pejabat. Ini juga dipertanyakan dari segi demokrasinya. Padahal pejabat memang seharusnya menerima kritik dan pendapat masyarakat,” tambah Wendra. Untuk kesekian kalinya, UU ITE di tahun ini kembali direvisi dengan memperjelas pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, penambahan pasal perlindungan anak, dan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Selain masalah regulasi UU ITE, kabar baik bagi dunia komunikasi adalah berkembangnya dinamika perfilman Indonesia pasca pandemi. Tiga tahun masyarakat dipaksa untuk tetap beraktivitas di rumah, termasuk menonton film. Namun ternyata hal ini tidak membuat bioskop ditinggalkan begitu saja. Igak Satrya Wibawa, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Airlangga menjelaskan bahwa industri film beberapa kali mengalami perubahan tren dan mengikuti tranformasi digital.
“Apakah setelah pandemi penonton masih merindukan bioskop? Data menyatakan bahwa 64,1% penonton masih ingin menonton di bioskop. Tapi ini menarik, karena hampir 75% menyatakan bahwa mereka jauh lebih nyaman menonton streaming. Meskipun lebih menyukai streaming, tapi mereka menyatakan tetap menonton di bioskop. Ini artinya ada beberapa hal yang tidak tergantikan di bioskop,” tutur Igak. Era digital menimbulkan persaingan yang lebih dari sekedar barang jual beli, melainkan bagaimana setiap pengguna bisa melakukan personifikasi atas barang tersebut.
Kini beberapa film tidak lagi tayang di bioskop, tapi hanya tayang di beberapa aplikasi berbayar seperti Netflix, iQIYI, VIU, dan lain-lain. Mereka menawarkan layanan menonton di rumah yang murah, nyaman, dan mudah. Meskipun begitu, bioskop tetap memiliki nilai jual yang tidak tergantikan. Sensasi menonton bersama di layar lebar dengan layanan snack, pilihan sofa, bahkan berbagai pilihan layanan premium tidak akan didapatkan dari tempat lainnya. Inilah yang membuat pasar industri film Indonesia terdiversifikasi dengan baik.
Eksistensi dunia digital memang tidak akan bisa dihindari. Banyaknya kontroversi yang muncul menunjukkan bahwa masyarakat belum siap menerima perubahan yang begitu cepat. Tapi di sisi lain, perkembangan dan proses yang terjadi juga menunjukkan komitmen kuat dan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Perlu diingat kembali, mewujudkan ekosistem digital yang aman tidak hanya tugas pemerintah dalam membuat kebijakan, tapi juga kebijaksanaan pengguna dalam mengakses layanan digital. (/tsy)