Dinamika Oligarki di Titik Akhir Reformasi, Pidato Vedi Hadiz di Fisipol UGM Berikan Refleksi pada Indonesia

Yogyakarta, 25 September 2025—Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada menggelar kuliah umum bertema “Oligarki Setelah Reformasi Berakhir” pada Kamis (25/9). Menghadirkan Vedi Hadiz, akademisi asal Indonesia yang bekerja sebagai dosen di University of Melbourne, Australia, diskusi ini mengulas bagaimana oligarki berkembang sebelum dan setelah reformasi. 

Vedi mengutip ucapan Karl Marz “History repeats itself. First as tragedy, second as farce” yang memberikan makna bahwa sejarah akan berulang. Era reformasi saat ini sudah hampir berada di titik selesai. Dahulu reformasi muncul karena peranan oligarki, dan oligarki juga terus berkembang dalam seperempat abad terakhir. Vedi melihat bahwa era reformasi sekarang tengah memasuki babak baru, masa baru, di mana cara-cara lama sudah harus ditinggalkan karena sistem yang sudah terlalu jenuh. 

Satu kabar yang menurut Vedi menandai perlunya pembuatan sejarah baru adalah program pemerintah untuk menulis kembali sejarah orde baru. Ia melihatnya sebagai bentuk whitewashing terhadap jejak sejarah. Padahal pencatatan sejarah akan diajarkan pada generasi baru, dipahami, dan dijadikan sebagai refleksi. “Orde baru diinterpretasikan kembali. Segala hal yang dilawan masyarakat di tahun ‘98 seakan-akan tidak ada. Menurut saya itu tanda kecil bahwa sudah saatnya kita menulis sejarah yang baru,” ucap Vedi.

Kembali pada pemaknaan reformasi, Vedi memulainya dengan sebuah refleksi. Sistem demokrasi seperti apa sebetulnya yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Demokrasi pada dasarnya muncul karena adanya kesadaran bahwa kekuasaan yang terpusat pada satu orang atau satu kelompok saja tidak lagi ideal. Masyarakat merasa memiliki hak untuk bersuara dan menentukan nasibnya sendiri. Sistem ini dianggap paling mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan karena seluruh kebijakan dilandaskan pada kepentingan rakyat.

Refleksi terhadap demokrasi Indonesia dapat dilihat dari beberapa contoh kecil. Pertanyaan seperti apakah hak-hak dasar manusia dirasakan oleh masyarakat, atau apakah dapat dirasakan oleh pers dan kelompok marginal. Vedi menegaskan bahwa masyarakat bukan satu objek kekuatan yang dipandang sebagai satu kesatuan general. Masyarakat adalah entitas yang berlapis dan beragam, serta bagian dari sistem itu sendiri. Demokrasi memberikan ruang pada setiap individu untuk menentukan pilihannya, tapi di sisi lain tantangan sistem demokrasi juga tak kalah rumit dengan sistem-sistem lainnya.

“Demokrasi Indonesia ini saya lihat ada kemajuan, tapi terbatas. Undang-undang kita itu sebenarnya banyak yang bagus, tapi yang bagus kan tidak dilaksanakan,” kritik Vedi. Ia mencontohkan bagaimana UU Omnibus Law telah memotong banyak sekali proses birokrasi dalam kebijakan pengelolaan lingkungan. Kebijakan yang dimaksudkan melancarkan urusan bisnis negara, namun sangat merugikan bagi masyarakat dan bangsa sendiri.

Selain itu, Vedi juga menjelaskan pemaknaan akan oligarki yang berbeda dengan sebelum masa reformasi. Menurutnya, definisi oligarki masih disandarkan pada aktor atau individu yang memegang kekuatan. Padahal oligarki adalah suatu sistem, di mana kekuatan semakin terpusat ke beberapa kelompok tertentu, siapapun orangnya. Jiak di era orde baru oligarki dapat dipastikan berada di tangan orang-orang tertentu saja, maka di era reformasi para oligark justru berputar. 

“Kita melihat sistemnya semakin terbuka, ada banyak pergantian kepala. Oligarki itu sistem yang terstruktur antara kepentingan politik, birokrasi, dan modal besar. Setelah tahun ‘98, aliansi oligarki ini mereformasi dirinya sendiri sehingga polanya berubah,” tutur Vedi. Bisa dilihat bahwa sistem oligarki dapat dipegang oleh siapapun dengan bentuk yang lebih cair. Hal penting dalam politik sekali lagi bukanlah ideologi, bukan program, melainkan akses kuasa terhadap institusi publik dan sumber daya yang ada.

Kuliah tamu kali ini mengantarkan pada refleksi panjang terhadap perjalanan sistem di Indonesia. Sampai kapanpun tidak akan ada sistem yang paling adil dan ideal bagi sebuah bangsa, karena zaman selalu berubah, tantangan terus hadir, dan masyarakat harus beradaptasi. Ketika sebuah sistem sudah terlalu jenuh dan merugikan masyarakat, maka gerakan baru untuk merubah sistem mulai dibutuhkan.