Setelah empat tahun mengarungi suka dan duka sebagai reporter koran dan majalah terkemuka Tempo, Dini Pramita yakin marwah media sebagai pewarta kebenaran dapat dipertahankan dengan satu prasyarat. “Ketika semua yang terlibat di dalam suatu perusahaan media mengerti dan memegang kode etik jurnalistik, objektivitas media niscaya dapat terjaga,” ungkapnya. Kepercayaan ini tumbuh seiring perjalanan karirnya di Tempo yang terus menjaga netralitas tanpa kompromi.
Dalam kelanjutan seri bincang santai One Week One Alumni (OWOA), Jumat (16/3), alumni mahasiswi Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) tahun 2007 ini berbagi tentang pengalamannya mulai dari saat memutuskan untuk mengarungi karir di bidang media, cara membuat berita berkualitas, hingga tantangan yang dibawa media daring.
Keputusan untuk berkecimpung di dunia media dibuat oleh Dini setelah menerima ajakan seorang teman. Saat itu bertepatan dengan pembukaan lowongan dari Tempo. Sebelumnya, Dini aktif menulis di beberapa surat kabar, tetapi tidak pernah berpikir untuk berkarir sebagai jurnalis. Bahkan, ia berpikir untuk berkarir di lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Ada tujuh tahap ujian penerimaan. Setelah diterima di Tempo pun, jabatan yang dipegang oleh Dini adalah calon reporter selama sembilan bulan. Di situ, ia menerima pendidikan dan tempaan dalam berbagai aspek jurnalistik. “Kami diajari, gimana sih cara mencari berita, menulis yang benar, gimana cara wawancara, menentukan angle (sudut pandang berita), dan sebagainya. Kemudian baru jadi reporter,” cerita Dini.
Jenjang karir selanjutnya pun tidak tergantung pada jangka waktu tertentu, melainkan berdasarkan performa. Terkait dengan itu, Dini juga mengingatkan, ketelitian merupakan mahkota para jurnalis.
Bagi Dini, pendapatan sebagai jurnalis adalah tantangan tersendiri. “Hal pertama yang ditanyakan saat diterima adalah ‘kamu siap miskin, nggak? Jurnalis itu nggak ada yang kaya lho’,” ungkap Dini. Baginya, itu adalah tantangan dan harga yang harus dibayar demi idealisme dan misi demi kebenaran dan humanisme. Banyak godaan yang menghampiri Dini dalam bentuk iming-iming uang. Namun, ia menegaskan, seorang jurnalis harus idealis dan memiliki ‘iman’ yang kuat.
Mencipta berita yang berkualitas bukan hal sepele, bahkan dibutuhkan proses yang alot. Dini mengatakan, budaya sebuah perusahaan media sangat menentukan untuk mencegah pemberitaan menguntungkan satu pihak tertentu. “Huruf e dalam Tempo itu ‘egaliter’. Aku bisa saja membantah atasanku dalam rapat dengan pimpinan redaksi ketika usulan angle-nya condong ke satu pihak.”
Dini melanjutkan, bantahan itu pun tidak berpengaruh pada karir, asalkan berdasar pada argumen yang kuat dan rasional. Apalagi, Tempo memiliki mekanisme evaluasi yang komprehensif terhadap performa para reporter. Dengan begitu, obyektivitas berita dapat terjaga.
Berita yang obyektif juga datang dari diri reporter secara pribadi. Jika tidak ada kepentingan yang mengintervensi, tidak sedang berada dalam tekanan, dan semua yang ia tulis adalah fakta, niscaya pemberitaan bisa obyektif. “Makanya, penting bagi seorang jurnalis untuk tidak terikat pada partai politik, bukan fanboy satu institusi aparatur negara, atau juga bukan fanboy klub tertentu. Jangan sampai pandangan pribadi masuk ke tulisan. Tentang perdebatan dengan pimpinan redaksi, itu masalah lain. Yang penting, seorang jurnalis harus obyektif terlebih dahulu.”
Di samping itu, Dini menekankan prinsip cover both sides untuk menyeimbangkan sudut pandang pihak-pihak yang diberitakan. Untuk berita-berita mengenai kriminalitas, jurnalis juga perlu memegang asas praduga tak bersalah. Misalnya saat proses hukum pada suatu kasus sedang berjalan, tidak selayaknya jurnalis memperlakukan tersangka seperti terdakwa. Maka media idealnya tetap mejaga kerahasiaan identitas tersangka.
Mengenai media online saat ini, Dini mengakui terdapat kecenderungan untuk mendewakan kecepatan, tidak terkecuali Tempo. Hal ini menimbulkan dilema antara memilih kualitas atau kecepatan, sehingga salah satu harus dikorbankan. “Kalau yang diutamakan kualitas, tentu kecepatan harus dikorbankan. Butuh waktu untuk membuat berita yang mencakup kedua sisi dan akurat,” katanya. Tuntutan akan berita yang cepat sering kali malah mengurangi akurasi berita. Bagi Dini hal ini tidak seharusnya terjadi, karena kode etik adalah hal wajib yang harus ditanamkan pada calon reporter.
Mengenai hoaks atau berita palsu yang kini merajalela melalui jaringan media sosial, Dini mengingatkan para netizen muda untuk berhati-hati. Ia mengatakan, memiliki banyak tujuan, mulai dari memasarkan produk, hingga menciptakan disinformasi untuk menghasut, menumbuhkan kebencian terhadap satu pihak tertentu, dan menciptakan rasa takut di masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi netizen untuk menjaga rasionalitas dalam menghadapai suatu pemberitaan yang provokatif. Selain itu, cross-checking, penelusuran fakta, dan mengecek verifikasi alamat website pada situs Dewan Pers Indonesia. “Semuanya semudah googling,” pungkas Dini. (/KOP)