“Saya dan tim sepakat bahwa ada kaitan antara solidaritas muslim dan kemarahan terhadap kondisi sosial ekonomi yang dialami, seperti misalnya adanya kemarahan akibat penggusuran massal. Mereka juga merasa pekerjaan atau lahannya diambil oleh kelompok-kelompok tertentu, membuat mereka berada pada situasi yang serba tidak pasti,” papar Dr. Innaya dalam presentasinya. Dijelaskan lebih lanjut pula, bahwa narasi garis keras “Pemimpin Kafir” kemudian menjadi menarik karena memberi kepastian berkaitan dengan moral keagamaan.
Dilanjutkan oleh Professor Vedy, bahwa masyarakat sudah banyak menghadapi ketidakpastian dalam kehidupan sehari-harinya. Adanya kekecewaan terhadap janji-janji modernitas dan pembangunan menimbulkan adanya dorongan untuk mencari kepastian yang sering kali disampaikan melalui moralitas keagamaan. Aksi Bela Islam pada Desember 2016 lalu pada penelitian ini dikaitkan dengan masalah ekonomi politik untuk melihat adanya pasar dalam moralitas keagamaan. “Munculnya mainstreaming makna moralitas Islam dalam politik di Indonesia, tujuannya adalah untuk mendapatkan respon pasar yang banyak, apalagi ketika menjelang Pemilu 2019 nanti,” papar Profesor Vedy.
Disoroti pula dalam seminar ini, kemunculan tren penggalangan massa dengan cara modern yaitu secara online berada pada taraf yang perlu diwaspadai. Professor Vedy menekankan perlunya pengamatan lebih lanjut mengenai mobilitas politik modern yang belum banyak diketahui mekanismenya. “Kita bisa lihat pada permasalahan Muslim Cyber Army sebagai upaya yang sangat serius dan sistematik, dan saya rasa masih perlu diteliti juga bagaimana mekanismenya dan sebagainya. Tapi yang clear bagi saya, itu merupakan cara mobilisasi politik baru yang sangat ampuh,” ungkap Profesor Vedy.