Diseminasi Riset: Tantangan dan Potensi Masyarakat Toleran dan Inklusif di Jawa Barat

Yogyakarta, 14 Desember 2021─Tim Kajian Inklusi Sosial dan Kewargaan Demokratik FISIPOL UGM menggelar Diseminasi Riset dengan judul “Tantangan dan Potensi Masyarakat Toleran dan Inklusif di Jawa Barat” pada Selasa (14/12). Acara yang berlangsung melalui Zoom Meeting tersebut dihadiri oleh Dr. Wawan Mas’udi (Dekan FISIPOL UGM) sebagai Ketua Tim Peneliti, beserta kedua penanggap yaitu Dr. Diah Kusumaningrum (FISIPOL UGM) dan Renata Arianingtyas, MA (The Asia Foundation). 

Sejak Maret 2020, Tim Kajian Inklusi Sosial dan Kewargaan Demokratik di FISIPOL UGM melakukan penelitian yang memetakan tantangan dan potensi bagi terwujudnya masyarakat yang toleran dan inklusif di Indonesia dengan dukungan dari International Centre for Local Democracy (ICLD). Riset ini berangkat dari sebuah kegelisahan atas perkembangan demokrasi di Indonesia di mana aspek substantif demokrasi masih jauh dari harapan. 

Dari sisi elektoral terdapat berbagai bentuk praktik politik non-demokratik yang terus berlangsung, seperti politik uang dan lainnya. Lebih jauh lagi, pemenuhan hak-hak kewarganegaraan terkait dengan identitas dan ekspresi personal juga masih sangat problematik.

“Di Indonesia kita dihadapkan pada persoalan toleransi yang dari waktu ke waktu tantangannya semakin kuat. Berangkat dari itu, tim riset mencoba untuk melihat akar dari lahirnya semangat eksklusivitas/perilaku politik yang mengeksklusi,” ungkap Wawan.

Penelitian ini memilih Jawa Barat karena Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, yaitu 18,3% total populasi Indonesia. Hal ini berarti perkembangan terkait toleransi dan inklusi yang ada di Jawa Barat mampu bercerita tentang kualitas kesetaraan dalam demokrasi Indonesia. Dalam konteks ini, penelitian bermaksud menggali lebih dalam terkait kondisi-kondisi apa yang dapat menjelaskan adanya kebijakan yang dipandang eksklusif dan intoleran tersebut.

“Dengan memahami kondisi-kondisi tersebut, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya memanfaatkan potensi-potensi yang ada untuk mewujudkan pemerintah dan masyarakat yang toleran dan inklusif,” tutur Wawan.

Lebih lanjut, hasil penelitian menemukan bahwa orang yang tinggal di daerah perkotaan, berpendidikan, dan merasa puas dengan kondisi ekonominya cenderung memiliki tingkat toleransi sosial dan toleransi total yang lebih tinggi. Sementara itu, berkaitan dengan preferensi memilih pemimpin, hampir separuh dari responden survei memprioritaskan pemimpin yang beragama Islam, berasal dari suku dominan, laki-laki, dan berasal dari partai agama ketika Pilkada.

Temuan tersebut menunjukkan kondisi kebijakan eksklusif berbingkai moral yang dimungkinkan oleh adanya politisi yang oportunistik dalam berkompetisi untuk mendapatkan dukungan elektoral; organisasi keagamaan konservatif yang ingin mendapatkan atau mempertahankan akses terhadap kekuasaan; pemilih dengan preferensi yang cenderung intoleran; dan organisasi masyarakat sipil yang tidak mampu menggalang dukungan publik bagi kelompok minoritas.

Ayu Diasti Rahmawati, anggota tim riset, menyimpulkan bahwa demokratisasi di tingkat nasional ternyata tidak serta merta diikuti dengan proses yang sama di tingkat subnasional. Oleh karena itu, diperlukan inovasi dalam kerja-kerja inklusi,

“Kerja-kerja inklusi juga perlu mencakup strategi-strategi seperti pendidikan intoleran, pendidikan pemilih, peningkatan kapasitas pengorganisasian gerakan, dsb,” ujarnya. (/Wfr)