Bagi Mas Nanang, menyelesaikan pendidikan S3 dan mendapatkan gelar PhD lebih dari sekedar suatu fase biasa dalam karirnya sebagai akademisi. Dalam acara FISIPOL TALK bertajuk Stress Management for PhD Students (14/9) yang diselenggarakan Career Development Center (CDC), dosen di Departemen Politik Pemerintahan bernama lengkap Nanang Indra Kurniawan ini membagikan pengalamannya menghadapi stres yang sudah terlalu lazim dihadapi oleh mahasiswa pascasarjana. “Studi PhD adalah suatu perjalanan yang personal karena sifatnya yang solitary. Setiap orang memiliki cerita masing-masing termasuk berbagai masalah yang dihadapinya,” ungkap Mas Nanang yang baru saja mendapatkan gelar doktoral dari University of Melbourne bulan Maret lalu. Sharing pengalaman ini menjadi penting bertepatan dengan meningkatnya kebutuhan mahasiswa FISIPOL akan konseling psikologis di CDC.
Terdapat tiga aspek penting dalam penyelesaian studi PhD, yaitu kapasitas akademik, manajemen diri, serta psikologis. Namun, Mas Nanang menyatakan kepada audiensnya di Ruang Sidang Dekanat bahwa aspek psikologis menjadi yang utama dalam menopang kesuksesan studi. “Sebagian besar orang mengasumsikan bahwa kesuksesan studi PhD bergantung pada kemampuan akademik seseorang. Tapi jangan salah, banyak orang pintar di Indonesia yang sudah sekolah di luar negeri tetapi tidak pulang tanpa gelar.”
Sebaliknya, faktor-faktor lain yang sifatnya eksternal seperti substansi riset, keadaan finansial, tanggung jawab akan keluarga, pendidikan anak, hingga penghentian beasiswa dapat memengaruhi keberhasilan studi secara lebih signifikan. Keadaan-keadaan tersebut dapat berpengaruh lebih besar pada kesehatan fisik dan mental mahasiswa PhD. Mas Nanang pun tidak luput dari permasalahan-permasalahan serupa, diperburuk lagi oleh pembubaran program studinya di Victoria University yang membuatnya harus pindah ke University of Melbourne disertai penghentian beasiswa dari DIKTI. Alhasil, stress yang ditimbulkan menyebabkan berat badan Mas Nanang turun drastis, susah tidur, dan jantung berdebar-debar.
Di sisi lain, Mas Nanang juga menyebutkan bahwa faktor psikologis internal tidak kalah penting dalam memengaruhi keberhasilan studi PhD atau S3. Yang pertama adalah kecenderungan menunda-nunda, lebih populer dengan istilah procrastination. Mas Nanang mengulas beberapa gejala menunda-nunda yang sangat lumrah bagi mahasiswa di segala tingkat pendidikan, misalnya sibuk dengan media sosial, mengiyakan ajakan setiap orang, menumpuk buku-buku dan berbagai dokumen tanpa disentuh, dan mencari aktivitas-aktivitas “pelarian” yang ringan. Semua ini dilakukan saat seharusnya tugas-tugas hingga riset dan disertasi yang membuat mahasiswa sibuk. Gejala lain dari procrastination adalah membiarkan hal-hal penting terus terpampang di to-do list tanpa terselesaikan, dan alasan “menunggu saat yang tepat” atau ”menunggu mood” untuk mengerjakan kewajiban riset. “Saat saya tinggal dengan beberapa teman yang sudah sampai tahap akhir dari disertasinya, saya terus mengiyakan ajakan-ajakan mancing, barbecue, dan piknik sampai pengerjaan disertasi saya tertunda dua bulan,” ujar Mas Nanang memberi contoh. Saat tersadar, stress akan muncul kembali karena tugas yang telah menumpuk.
Masalah yang kedua adalah perfeksionisme. Mas Nanang mengingatkan bahwa pengerjaan disertasi memang penting untuk sumbangsih ilmu pengetahuan, tetapi “bukan untuk menyelamatkan dunia.” Intinya, tidak ada penelitian yang sempurna, tetapi penelitian tetap harus selesai. Perfeksionisme akan mendorong mahasiswa untuk merasa tidak puas dan bisa saja terus menerus mengulang penjelasan di satu halaman, yang malah dapat membawa frustrasi. Masalah ini dapat tumbuh secara berkaitan dengan masalah psikologis yang ketiga, yaitu, kepercayaan diri yang berlebihan atau, sebaliknya, kepercayaan diri yang terlewat rendah. Percaya diri yang berlebihan dapat mengganggu hubungan mahasiswa PhD dengan supervisor atau pembimbing riset hingga ketidaksiapan untuk menerima kekuranagan. Sebaliknya, rendahnya rasa percaya diri dapat menghalangi penyelesaian disertasi itu sendiri.
Selain menceritakan pengalamannya, Mas Nanang juga berdialog dengan beberapa peserta dengan menanyakan permasalahan yang mereka hadapi. Beberapa hal lain seperti kuliah sambil bekerja, culture shock, membagi waktu dengan merawat anak, kehilangan keluarga terdekat, hingga hubungan jarak jauh dengan pasangan ternyata juga dapat menjadi faktor stress.
Menanggapi hal tersebut, Mas Nanang memberikan saran untuk menyelesaikan studi PhD atau S3 dengan stress minimal: membentuk kebiasaan (shaping habits) dengan meningkatkan disiplin dan menyusun skala prioritas. Prinsip ini dapat diubah menjadi aksi konkret, misalnya mengalokasikan sejumlah waktu tertentu khusus untuk membaca, menulis, dan melanjutkan penelitian. Setidaknya dua hingga tiga jam, atau setidaknya sehari satu halaman adalah jumlah yang direkomendasikan Mas Nanang asalkan dilakukan dengan konsisten. Disiplin juga dapat dijaga dengan mengelola waktu dalam bentuk timeline untuk membantu pencapaian target penyelesaian disertasi. Meskipun demikian, kegiatan refreshing harus tetap dilakukan untuk menopang proses penyelesaian.
Di samping itu, Mas Nanang juga menyarankan pembentukan motivasi diri. “Saya menjadikan anak dan istri saya sebagai motivasi utama untuk menyelesaikan studi doktoral ini,” ungkap Mas Nanang. Saat merasa mulai stress hingga depresi, Mas Nanang menyarankan agar mahasiswa PhD tidak menyangkal diri dan segera mencari bantuan, misalnya dengan bercerita kepada keluarga terdekat, teman, hingga konseling dengan psikolog. “Studi PhD sifatnya solitary. Cobalah keluar dari isolasi dan jangan malu untuk mengakui bahwa Anda sedang stress hingga depresi. Jangan malu untuk cerita.” (/KOP)